Oleh Fr. Blasius Trinold Asa, SVD
(Bagian II)
8. Penyakit penuh rencana (The disease of excessive planning)
Penyakit ini terjadi ketika rasul merencanakan segala sesuatu sedetail mungkin dan yakin bahwa dengannya semuanya akan berproses secara efektif. Perencanaan yang baik dan tepat itu diperlukan, namun kita tidak boleh jatuh ke dalam godaan untuk mengkotakkan (membatasi) kebebasan Roh Kudus yang selalu berperan lebih besar dan lebih terbuka daripada rencana manusia.
Di sini perlu disadari bahwa karya Roh Kudus selalu membawa kesegaran dan pembaruan. Kita boleh saja merencanakan segala sesuatu, tetapi kita juga perlu terbuka terhadap karya Roh Kudus dalam hidup ini, yang tidak kita rencanakan sebelumnya.
9. The disease of spiritual Alzheimer’s (penyakit “kelumpuhan otak” Rohani)
Penyakit ini berupa kehilangan kenangan pribadi akan ‘sejarah keselamatan,’ tentang kisah pribadi bersama Tuhan, tentang ‘cinta pertama’. Penyakit ini juga berupa kemunduran kemampuan rohani yang semakin akut (a ‘progressive decline of spiritual faculties) yang menimbulkan akibat-akibat buruk dan merugikan, yang membuat orang tidak dapat melakukan apapun secara sendiri, kecuali untuk tinggal dalam keadaaan ketergantungan penuh pada persepsi-persepsi khayalan saja.
Penyakit ini menghinggapi mereka yang kehilangan “kenangan” (memory) akan pengalaman perjumpaan dengan Allah; mereka yang tidak mampu lagi mengartikan hidup; tergantung pada obsesi, hasrat dan keinginan mereka sendiri, atau mereka yang membangun tembok dan runitinas-rutinitas di sekitar yang semakin menjadikan mereka hamba dari ‘idols’ yang mereka pahat sendiri.
Kita bertanya: apa saja yang menjadi ‘idols’ yang tidak pahat sendiri sampai membuat kita melupakan berkat, cinta dan kemurahan Tuhan?
10. Penyakit kepribadian terbelah (the disease of existential schizopherenia).
Jenis penyakit ini diidap oleh orang yang menjalani ‘hidup ganda,’ sebagai buah dari sikap hipokrit dari adanya perkebamngan rohani yang kosong di mana deretan title akademis tidak dapat menenangkannya. Penyakit ini juga menyerang orang yang meninggalkan pelayanan pastoral dan membatasi diri pada urusan administrasi, sehingga kehilangan kontak dengan realitas dan perjumpaan dengan sesama. Dengan kata lain, perjumpaaan dengan sesama dan realitas harian tidak perlu diperhatikan, karena orang merasa sudah cukup berada dibalik ‘meja kerja.’ Di sini mereka menciptakan suatu dunia yang parallel, dimana mereka menyampingkan segala sesuatu yang mereka beritahukan kepada orang lain, kemudian mulai menghidupi kehidupan tersembunyi. Penyakit ini perlu disadari serius karena bisa menghambat sosialisasi dan aktualisasi diri di tengah lingkungan sosial atau komunitasnya.
11. Penyakit cuek bebek (The disease of indifference towards others)
Gejala penyakit ini adalah bila orang yang berpikir tentang dirinya sendiri dan kehilangan ketulusan dan kehangatan dalam relasi. Penyakit ini juga muncul jika orang yang sudah berpengalaman tidak mau menularkan pengetahuan itu kepada rekan kerja dan penerusnya. Selain itu, karena iri hati, maka orang gembira bila melihat temannya jatuh, daripada ingin mengangkat dan memberikan peneguhan kepadanya.
Penyakit indifference ini bisa terjadi di dunia kerja maupun di tengah komunitas ketika orang tidak ingin mesharingkan talenta, bakat dan kemampuannya; bila orang tidak memberi ruang bagi yang lain untuk belajar darinya. Bahaya penyakit ini bisa juga dialami ditengah keluarga ketika suami atau istri berpusat pada ‘aku’, dunianya sendiri, dan membiarkan yang lain mengerjakan sendiri apa yang semestinya bisa dilakukan.
12. Penyakit “muka murung/masam” (The disease of glumness)
Penyakit ini menghinggapi orang-orang yang merasa diri supaya nampak serius, maka mereka harus menunjukkan wajah yang masam dan melankolis, dan memperlakukan orang lain terutama orang-orang yang menyadari inferior dirinya, dengan kekukuhan, kekasaran dan arogansi. Pada kenyataannya, hal ini menunjukkan kekakuan teatrikal dan pesimisme yang mandul yang adalah gejala dari rasa takut dan rasa tidak aman terhadap diri sendiri.
Menghadapai penyakit jenis ini, kita harus berusaha untuk menjadi orang yang sopan, tenang, bersemangat, menjadi pribadi yang mampu mentransfer kegembiraan dan sukacita di mana pun kita berada. Kita perlu sekali lagi menyadari bahwa hati yang dipenuhi kasih Tuhan adalah hati yang gembira dan memancarkan sukacita. Di sini kita diajak untuk tidak kehilangan sukacita, selera humor, yang menjadikan orang menyenangkan walaupun berada dalam siatuasi sulit sekalipun. Amsal 17:22 mengatakan: ‘hati yang gembira adalah obat yang manjur…’ memiliki selera humor yang tepat dapat membantu kita melupakan sejenak kepahitan-kepahitan dalam hidup.
13. Penyakit mengamankan diri (the Disease of hoarding).
Penyakit ini diderita saat dimana kita berusaha memenuhi keinginan atau tepatnya kekosongan eksistensial (existential void) dengan mengumpulkan harta milik, buka sesuai dengan kebutuhan, melainkan hanya demi rasa amannya saja. Pada kenyataannya, harta dan keinginan duniawi tindak mampu menjadi jawaban atas kekosongan eksistensial manusia.
14. Penyakit merasa diri lingkaran dalam (the disease of closed circles).
Orang merasa diri penting untuk menjadi bagian dari ‘lingkaran dalam’ kelompok tertentu daripada menjadi satu kesatuan dalam Tubuh Mistik Gereja. Penyakit ini bermula dari intensi/maksud baik, namun lama kelamaan memperhamba anggota-anggotanya dan menjadi semacam cancer yang mengamcam harmoni dalam komunitas, menciptakan skandal dan kejahatan lainnya.
Sepertinya yang dimaksudkan di sini adalah bahwa orang terkungkung dalam ‘lingkaran dalam’ dalam kelompoknya saja, merasa lebih kuat dan berpengaruh, tidak mempedulikan yang lain, sehingga lambat laun memecah belah kesatuan.
15. Penyakit “keuntungan duniawi dan pamer diri (The disease of worldly profit and exhibitionism)
Penyakit ini muncul ketika kita mengganti pelayanan menjadi kekuasaan, dan kekuasaannya pada barang yang menghasilkan keuntungan duniawi, dan bahkan untuk lebih berkuasa lagi. Orang yang mengidap penyakit ini akan berusaha menghalalkan segala cara untuk memfitnah, mencemarkan dan mendiskreditkan orang lain melalui media sosial seperti koran dan majalah, melalui whatsapp atau media komunikasi lainya, guna menunjukkan superioritasnya di atas orang lain. Penyakit ini sangat berbahaya, karena bisa menghancurkan komunitas Gereja karena orang tersebut dapat menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya saja.
Untuk menghindari penyakit ini, kita harus menyadari bahwa pelayanan kita adalah demi kepentingan bersama dan terutama demi kemuliaan Tuhan saja; bahwa pengunaan media sosial secara tidak bertanggungjawab adalah bentuk ketidakdewasaan diri yang tidak ingin bertumbuh dan berkembang dalam komunitas bersama.
Comments are closed