Oleh Ben Sugija
Saya pernah menghadiri suatu pertemuan diskusi refleksi dan bahan yang dibahas adalah mengenai
kaum Farisi. Mengapa Jesus kurang menyukai malahan melontarkan kritik yang kadang-kadang keras
nadanya terhadap kelompok sekte ini. Padahal mereka adalah ahli Taurat dan hukum agama Yahudi
yang ingin menerapkan hukum Taurat secara utuh. Apakah salah mereka ? Apakah kelompok ini
hanya ada di zaman Jesus saja dan tidak eksis di zaman sekarang yg modern.
Tuduhan atau kritik mengenai kaum Farisi ,antara lain mereka sering berprilaku (lihat injil Mateus
bab 23 dan informasi dari Google)
- Mencari tempat utama atau mem-posisikan dirinya sebagai orang penting yang exklusif
lain dari mayoritas umumnya. Ini terlihat dari cara berpakaiannya maupun penampilannya. - Kurang atau tidak antusias untuk menolong orang lain yang mengalami kesulitan maupun
penderitaan. Prioritas utama di-dahulukan untuk kelompok diri sendiri. - Merasa Tuhan telah berkenan dengan sikap dan cara hidup mereka, yang telah sesuai dgn
hukum yang berlaku
Belum lama, saya mendengarkan narasi sdr Denny Siregar di Cokro TV, mengenai sikap intoleransi
dari sebagian kaum mayoritas (orang muslim) terhadap kaum minoritas ( non-muslim). Saya setuju
dengan narasi bung Denny yang menurut saya cukup berimbang dan layak di-simak. Dia mengatakan
bahwa Islam adalah agama yang damai dan toleran, dan mengakui masih adanya perlakuan
diskriminatif dan sikap intoleran terhadap kaum non-muslim, seperti pembatasan pembangunan
gereja, perusakan makam non-muslim, dll. Dia juga meng-klaim bahwa mayoritas muslim tidak
menyetujui sikap tersebut. Saya mempunyai banyak teman muslim dan dari pergaulan dengan
mereka, saya meng-amini pendapat bung Denny. Dia menganalisa mengapa hal itu bisa terjadi dan
ini mengelitik hati saya untuk berefleksi kepada umat maupun agama Kristen.
Menurut bung Denny, salah satu sebabnya adalah belum adanya standar yang memadai sebagai
pendakwah, pengajar atau ustadz didalam agama Islam di Indonesia. Menurut dia, menjadi ustadz
itu terlalu mudah; kelayakannya maupun pengetahuan agamanya harus di-sertifikasi, seperti
misalnya di Mesir. Dia juga prihatin dengan para mualaf (non-muslim yang pindah agama menjadi
muslim) yang menurutnya masih perlu belajar agama Islam, malahan mereka diberi kesempatan
menjadi ustadz. Tidak heranlah, kalau mualaf cendrung menjelekan agama yang dianut sebelumnya,
karena keterbatasan pengetahuannya. Kelompok intoleran juga sudah mulai dengan
memperkenalkan cara berpakaian seperti celana cingkrang dan membiarkan janggut bertumbuh dan
menggunakan jargon agamis dalam bersosialisasi. Lagi2 menurut Denny, hal ini dipakai untuk
meningkatkan citra agamis pelaku walaupun kalau ditanya,tidak tahu sebabnya.
Pada bagian ackhir narasinya, moderatornya bertanya kepada Denny, dengan kendala kompetensi
ulama yang belum standar, bagaimana sikap umat supaya bisa menangkal ajaran yang intoleran.
Bung Denny menjawabnya dengan gamblang dan penuh humor, gunakan akal sehat untuk memfilternya. Lagi-lagi, saya sangat setuju, amin.
Dalam perspektif Katolik, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri, apakah ke-prihatinan Denny
juga terjadi dalam agama Katolik? Dilihat dari pendidikan seorang pastor atau romo di seminari,
rasanya kompetensi maupun bekal sebagai ‘gembala’ sudah cukup memadai. Keinginan umat untuk
menemukan jati dirinya, maupun kerinduan manusia kepada Sang Pencipta terus bertambah besar
sehingga tanggung jawab imam juga semakin besar dan signifikan. Tidak bisa dihindarkan,
persaingan antar gerejapun terjadi untuk menarik umat menjadi jemaatnya.Trik-trik komersial-pun
mulai dilontarkan, ada yg menjelekan pihak lain sambal memuji-muji diri sendiri. Saya sih melihatnya
sampai saat ini masih wajar-wajar saja, tetapi sebaiknya di masa yang akan datang, kita harus hatihati jangan sampai kita terbawa menjadi kelompok yang intoleran seperti orang farisi.
Misalnya saja, ada jemaah yang meng-klaim kelompoknya sudah atau pasti telah diselamatkan
Tuhan. Lalu ada kelompok yang membuat klaim usaha business nya akan berhasil, kalau menjadi
umat jemaahnya dan janji-janji lainnya. Kita tidak perlu untuk mengemas cara hidup, sapaan,
berbusana yang agamis. Tuhan sudah mengetahui ‘isi’ kita yang sebenarnya. Dalam perspektif inilah,
saya jadi teringat peringatan atau nasihat Denny Siregar supaya menggunakan akal sehat untuk
menyaring ajaran, input sehingga kita tidak menjadi umat yang intoleran atau cultism. Jangan
sampai, kita di-brain washed.
Saya sangat setuju dengan pendapat yang mengatakan, cara beragama yang baik adalah menjadi
manusia yang berguna bagi orang-orang lain, alam dan ciptaan Tuhan disekitar kita. Bukan untuk
mencari atau mendapatkan posisi yang istimewa dihadapanTuhan. Marilah kita menyadari bahwa
kita hanyalah perpanjangan tangan-Nya saja, and never being in charge even of our own life.
endingnya sangat menampar, om. “… never being in charge, even of our own life.” Thanks, om sudah mengingatkan…