Oleh : Ben Sugija
- Bahan ini merujuk ke bahan yg orisinil, ditulis oleh Nimmi Candappa, sehingga artikel ini hanya merupakan komentar penulis pribadi yang menjadi bahan refleksi. Nimmi menulis artikelnya di sebuah majalah bulanan Melbourne Catholic, July 2019, yang bertemakan, inklusif dan harmoni berbagi pengalaman dengan orang-orang yang tidak seiman. Gereja Katolik telah membuka pintu untuk ,bersedia berkerja sama dengan mereka. Sikap ini sejalan dengan ajaran gereja untuk menikmati ciptaan dan menemukan Tuhan, kita dapat melakukannya melalui orang-orang dan alam sekitar kita, ciptaan-Nya. Memang betul perkembangan akhir-akhir ini mengarah kepada hal yg kurang ideal menurut ajaran gereja, tetapi kita tidak boleh menyerah. Sayang majalah ini telah tidak beredar lagi.
- Sosial budaya saat ini. Seperti diketahui, sosial budaya masyarakat selalu tumbuh berubah sesuai dengan civilisasi dan perkembangan teknologi. Misalnya saja di bidang moral maupun spiritual, timbul gerakan-gerakan seperti kelompok atheis, sekuler, agnostic, LGBT dan lain-lainnya. Mereka membuat klaim bahwa gerakan mereka akan mencerdaskan dan memberikan kebebasan untuk masyarakat. Sayangnya, persepsi yang mereka usulkan sering mengandung nilai-nilai yang berseberangan dengan yang dianut oleh agama yang mapan seperti umat Kristen, Islam, Buddha, Hindu dan lain-lainnya. Tidak heran kalau mereka merasa tidak nyaman dalam mempraktekan ritual dan menyebarkan iman ajaran agama versi mereka. Sebagai contoh, apa yang sedang terjadi di negara bagian Victoria baru-baru ini. Parlemen telah meloloskan sebuah rencana undang-undang (RUU), The Victoria State Conversion Bill yang menurut saya kurang ideal. RUU tersebut memberi kesempatan terlalu besar kepada pemerintah yang dapat mencampuri hak atau ranah pribadi, iman kepercayaan, maupun keluarga. Contoh ini salah satunya telah memicu kekuatiran umat beragama
- Peranan Tuhan atas kekuatiran umat. Perkembangan yg terjadi di masyarakat umum memberikan indikasi yang tidak begitu cerah. Populasi orang Kristen dan Katolik diperkirakan mencakup 30 persen dari seluruh penduduk dunia, sementara pemeluk Katolik hanya 20 persen. Jumlah ini diperkirakan akan menurun di masa yad dan hal ini telah menjebabkan kegalauan khususnya orang-orang lansia senior. Mereka melihat anak-anak mereka menjauh dari gereja dengan alasan antara lain, gereja sudah tidak relevan lagi, sibuk dengan tugas pekerjaan, terlalu banyak skandal yang terjadi. Sang cucu-pun banyak yang tidak dipermandikan lagi.
Semuanya ini sering membuat umat bertanya-tanya, dimanakah Tuhan? Tuhan yang setia mengasihi ciptaanNya, Tuhan yang meninggalkan 99 dombanya untuk mencari satu domba yang hilang. Memang betul, masih banyak umat yang bertahan, setia mempercayai janji Tuhan seperti apa yang diucapkan imam didalam misa, “peace I leave you, my peace I give you”. Saya sependapat dengan Nimmi, bahwa Tuhan tidak akan meninggalkan ciptaanNya. - Penanganan Tuhan terhadap ciptaanNya. Bukti keterlibatan dan interes Tuhan untuk merawat atau memelihara ciptaanNya dapat ditemukan dengan cara yang sederhana. Dengan melihat alam di sekitar, kita dapat menikmati keperkasaan, kemegahan, keindahan alam ciptaanNya. Kita juga mengagumi tatanan (order) yang menjadi dasar atau kaidah dari seluruh kejadian entah itu disiplin ilmu kedokteran, kimia, fisika, biologi dll yang selalu konsisten, serasi tidak berubah-ubah. Nimmi juga menyatakan hubungan dengan Tuhan adalah “hubungan antara hati ke hati” (heart to heart) dan bukan “dari pikiran ke hati” (head to heart). Kita meng-ekspresikan iman kita melalui hati dan tindakan dan bukan lewat pikiran dan kata-kata saja.
Penanganan Tuhan terhadap ciptaanNya. Bukti keterlibatan dan interes Tuhan untuk merawat atau memelihara ciptaanNya dapat ditemukan dengan cara yang sederhana. Dengan melihat alam di sekitar, kita dapat menikmati keperkasaan, kemegahan, keindahan alam ciptaanNya. Kita juga mengagumi tatanan (order) yang menjadi dasar atau kaidah dari seluruh kejadian entah itu disiplin ilmu kedokteran, kimia, fisika, biologi dll yang selalu konsisten, serasi tidak berubah-ubah. Nimmi juga menyatakan hubungan dengan Tuhan adalah “hubungan antara hati ke hati” (heart to heart) dan bukan “dari pikiran ke hati” (head to heart). Kita meng-ekspresikan iman kita melalui hati dan tindakan dan bukan lewat pikiran dan kata-kata saja.
Tuhan kita adalah Tuhan yang maha tahu dan mengenal semua ciptaanNya. Dia jauh lebih mengenal diri kita dari pada kita mengenal diri kita sendiri. Karenanya, hanya Tuhanlah yang mampu menilai kualitas, kedalaman dan ketulusan iman kita. Apakah kita seperti orang farisi yang sering di-kritik Jesus? Mereka menggunakan agama untuk kepentingan diri sendiri. Kita tidak perlu membesar-besarkan diri kita, meng-klaim Tuhan lebih berkenan kepada kita dibanding orang lain. Saya berpendapat hanya Tuhanlah yang mampu dan boleh menghakimi orang lain.
Intervensi maupun tawaran Tuhan sering merupakan surprise yang tidak disangka. Keadilannya-pun sering tidak jelas dilihat lewat kacamata manusia. Lihat saja cerita pekerja di injil yang berkerja mulai dari pagi hari, siang dan sore. Walaupun jam kerjanya berbeda, mereka tetap mendapat bayaran yang sama. Nimmi juga menyinggung tentang cerita Simon dari Kirena yang membantu Jesus meminggul salib jelas merupakan komitmen yang sangat signifikan. Nimmi membandingkannya dengan nasib penjahat yang sadar, di-salibkan bersama Jesus, menerima ganjaran yang luar biasa.
Saya berpendapat, bahwa ini adalah mutlak hak Tuhan, bukan lagi ranah nanusia. Nanti mungkin setelah kita meninggal, kita baru akan mampu mengerti maksud injil tersebut. - Hubungan yang inklusif dengan orang-orang lain. Nimmi menceritakan pengalamannya yang indah dan menyenangkan dengan orang-orang yang tidak atau kurang agamis, termasuk yg bukan Kristen. Walaupun menyandang predikat tidak beragama, mereka memiliki kepedulian yang cukup intens kepada orang-orang membutuhkan, siap membantu sesama. Pengalaman yang sama dialami Nimmi bergaul dengan orang-orang yang non Katolik dimana dia banyak belajar bagaimana menghayati hidup beriman. Dia bercerita pengalaman berdiskusi dengan seorang Buddhist yang menganjurkan untuk menyerahkan diri kepada indahnya kehidupan. Seorang koleganya menunjukan sikap rendah hati dalam usahanya mencari Tuhan. Seorang agnostic yang “menantang” dia untuk hidup selaras atau harmoni dengan ciptaan alam sekitar.
Perjumpaannya dengan orang seperti diatas memberikan tempat pijakan bersama, dimana masing-masing agama sering tidak mampu menyatukan satu sama lain. Bersama-sama, hati masing-masing secara perlahan akan mulai bergetar membentuk melodi yang indah, sinkron dengan irama Tuhan. Nimmi menganjurkan kita untuk melihat orang-orang diatas seperti Tuhan melihat mereka melalui kebaikannya, keindahannya, potensinya untuk tumbuh berkembang dan mendorong Nimmi untuk belajar - Sikap orang yg beriman. Sikap atau kesadaran bahwa Tuhan maha tahu mengenai diri kita, termasuk kekurangannya, akan menghasilkan ketahanan, damai didalam diri kita. Kita tidak perlu berpura-pura, membuat pernyataan, atau mencantumkan label di baju kita bahwa kita orang Katolik. Tuhan tahu semuanya itu.
Saya ingin ulangi kata-kata penutup Nimmi yang indah, … and so we live in peace, doing our bit but surrendering all to God’s ever-present, all encompassing mercy.