Oleh Suharjo Djais
Seringkali kita melihat kejadian dimana seseorang (atau kita sendiri) menjadi begitu marah dan kecewa saat mengetahui orang lain yang lebih tidak tawakal dan beriman dari kita justru mendapatkan apa yang begitu kita inginkan sedangkan kita sendiri tidak berhasil mendapatkannya, padahal kita sudah berusaha semaksimalnya untuk mengikuti ajaran Yesus, melakukan yang terbaik dalam mengaplikasikan ajaran cinta kasih-Nya, selalu berusaha menolong orang lain dan lain sebagainya. Sikap seperti itu terlihat sangat umum dan sering kali terjadi disekeliling kita dan bahkan pada diri kita sendiri tanpa kita sadari. Sikap yang selalu mengaitkan segala sesuatu yang sudah kita lakukan untuk-Nya dengan sebuah upah dari-Nya bisa dikatakan sebagai sebuah sikap narsis dalam beriman.
Gejala serupa seperti yang dialami si anak sulung yang mengetahui bapak nya menyembelih anak lembu tambun demi menyambut kepulangan sang adik yang baru memboroskan uang, sementara ia menganggap dirinya yang sudah setia bertahun-tahun bekerja belum pernah menerima upah dalam hal ini disembelihkan anak kambing, dia pun menjadi marah karena dia mengaitkan apa yang sudah dia lakukan dengan upah yang seharusnya dia terima.
“Tetapi ia menjawab ayahnya: Lihatlah, telah bertahun-tahun aku melayani Bapa … tetapi kepadaku belum pernah Bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku.” (Lukas 15:29)
Narsis dalam beriman dan beribadah bisa dikatakan sebagai sebuah kesalahpahaman makna ibadah dan beriman, sebuah makna dimana kita tidak lagi mengutamakan Allah, tetapi justru diri sendiri dan kepuasan kita yakni sebuah upah yang kita harapkan itu sendiri, yang sejatinya tanpa harus bersikap narsis pun Dia sudah lebih tahu apa yang kita butuhkan dan pasti akan selalu memenuhinya bukan?
Jadi, dimanakah posisi kita saat ini di hadapan Dia? Benar-benar menjadi rohani atau sekadar narsis dalam beriman karena mengejar sebuah upah?
Comments are closed