Oleh Franciscus Suryana
Bacaan Injil pada misa hari Minggu 9 Juli (Lukas 10:25-37) mengisahkan tentang orang Samaria yang penuh belas kasih. Sewaktu mendengarkan bacaan ini, saya jadi teringat dua peristiwa masa lalu di mana saya dihadapkan pada pilihan sikap dan tindakan. Istilahnya saya berada di persimpangan (at the crossroad) dan mesti memilih jalan mana yang saya akan tempuh.
Peristiwa yang pertama terjadi saat awal pandemic Covid-19 di mana aturan restriksi mulai diberlakukan. Saat itu saya pergi ke chemist untuk beli sanitiser dan alcohol wipes. Di sana saya temui stok beberapa obat jual bebas seperti obat demam dewasa maupun anak sudah habis. Stok sanitiser pun tidak tersedia. Nah kebetulan di rak bagian wipes cuma tersisa satu bungkus wipes. Ya saya ambil saja sambil jalan ke kasir. Eh sewaktu jalan ke kasir saya berpapasan dengan keluarga muda yang ternyata lagi cari wipes untuk anak kecilnya – ya tentu saja mereka nggak akan dapat wipes karena stok terakhir sudah saya ambil. Ini saya benar-benar at the crossroad – apakah saya mesti berikan aja satu bungkus wipes ini kepada mereka atau saya keep dan beli untuk keluarga saya? Tindakan yang saya pilih saat itu adalah keep wipes ini untuk keluarga saya. Jadinya saya bayar di kasir dan pulang ke rumah. Dalam refleksi saya pikir saya ini kok berperilakunya seperti si imam atau orang Lewi.
Peristiwa kedua juga terjadi saat pandemic Covid-19 di mana toilet tissue jadi barang langka yang susah ditemukan. Ceritanya saya lagi cari toilet tissue di supermarket karena toilet tissue di rumah tinggal sedikit. Nah waktu saya ke bagian toilet tissue tinggal satu pack yang tersisa. Sewaktu saya mau ambil satu pack ini saya melihat seorang ibu manula ternyata juga baru sampai di bagian ini untuk cari toilet tissue. Wah saya at the another crossroad – apa saya ambil aja toilet tissue ini untuk keluarga saya atau saya relakan untuk si ibu dan saya cari lagi di supermarket lain? Di sini saya pilih untuk merelakan toilet tissue untuk si ibu dan saya bilang ke dia ambil saja karena saya bisa cari lagi di tempat lain. Dalam refleksi kali ini saya pikir nah saya bertindaknya mirip dengan si orang Samaria.
Seringkali dalam hidup kita bertemu dengan persimpangan. Di situlah kita dihadapkan dengan pilihan sikap dan tindakan. Mungkin kita bisa berkaca pada cerita orang Samaria sewaktu kita mempertimbangkan langkah mana yang kita mesti tempuh. Kita bayangkan seolah-olah kita mengambil peran dalam cerita ini. Apakah kita pilih langkah seperti si imam? Atau seperti si orang Lewi? Atau seperti si orang Samaria?
Comments are closed