Oleh Petter Sandjaya
Saya ingin menceritakan kisah yang terjadi 2.5 tahun yang lalu, ketika pho-pho (nenek) dipanggil Tuhan. Ibu dari mama saya, yang sudah berumur lanjut, meninggal karena usianya yang sudah memasuki kepala 9. Saya sebagai cucunya dengan sangat terpaksa tidak dapat pulang ke Indonesia dikarenakan situasi Covid-19 kala itu yang membatasi aktivitas masyarakat. Hanya bisa mengikuti perayaan pemakaman dari zoom.
Singkat cerita, setelah acara penguburan pun selesai, semua anggota keluarga kembali ke kota mereka masing-masing, kembali pada aktifitas mereka masing-masing. Di Grup chating keluarga pun mulai saling berbagi foto-foto yang diambil dari kamera hp masing-masing.
Ketika saya melihat kumpulan foto-foto itu, langsung saja saya meluangkan waktu untuk melihat semua foto-foto yang dibagikan di grup keluarga. Tiba-tiba saja, mata saya terpana pada sebuah foto keluarga di depan kuburan pho-pho yang baru saja dikubur di situ. Semua anak, menantu, sampai cucu, berfoto bersama di situ dengan ekspresi yang kurang lebih serupa, yaitu muram dan sedih, atau setidaknya tidak berekspresi. Tapi ada 1 wajah yang justru berekspresi berbeda di sana, yaitu mama saya, yang justru malah tersenyum lebar di foto itu.
Lama saya tahan dan pendam rasa penasaran ini. Maksud hati, mau menunggu momen berduka ini berlalu dulu, baru saya akan memastikannya pada mama. Sungguh, saya penasaran luar biasa. Bagaimana mama bisa tersenyum disuasana duka kala itu? Bagaimana dia mengontrol perasaannya supaya bisa terlihat tersenyum?
Akhirnya tibalah waktu yang tepat bagi saya untuk mendapatkan jawaban dari mama. Sungguh mengagetkan. Ternyata apa yang saya duga benar-benar apa yang dirasakan oleh mama. Bahwa mama tidak merasakan kesedihan mendalam seperti kebanyakan orang. Bahwa mama memahami betul bahwa kematian pho-pho adalah kebangkitannya sebagai roh yang hidup. Mama begitu percaya, bahwa roh pho-pho hidup dan tinggal di suatu tempat. Mama memang tidak bisa memastikan apakah pho-pho masuk surga atau tidak, tapi dia percaya kalau kita doakan terus roh pho-pho, Tuhan akan berkenan menerimanya di Surga.
Setelah mendengarkan penjelasan mama, kini saya paham kenapa dia bisa tersenyum di pemakaman pho-pho. Perspektifnya tentang kehidupan daging berbeda dengan orang banyak yang masih diliputi oleh kemelekatan. Kita bersedih karena kita merasa kehilangan. Mama tidak terlalu bersedih karena dia tahu bahwa ini hanya perpisahan sesaat. Kurang lebih mirip seperti perpisahan pada waktu saya hendak pindah kota untuk berkuliah di Yogyakarta. Atau perpisahan pada waktu kami bermigrasi ke Melbourne. Mama tahu bahwa life must go on, dan mengerti bahwa nanti dia pun akan memasuki dunia yang sama ketika sudah tiba waktunya.
Jadi untuk apa ditakuti kalau ada suatu kehidupan yang lebih menyenangkan menanti kita. Daripada hidup ini dipenuhi ketakutan akan kematian daging, jauh lebih baik takut akan kematian roh, yang akan kekal selamanya. Judulnya sama-sama “takut”, tapi efeknya terhadap kehidupan akan sangat berbeda. Ketika kita takut akan kematian roh, kita akan jauh lebih menghargai hidup kita dan orang lain di sekitar kita.
Selamat menjalani bulan arwah. Semoga bulan ini setidaknya kita dapat memahami 1% saja misteri Ilahi yang merupakan tempat kita berasal dan berpulang. Tuhan Yesus memberkati kita semua…
“…tetapi mereka yang dianggap layak untuk mendapat bagian dalam dunia yang lain itu dan dalam kebangkitan dari antara orang mati, tidak kawin dan tidak dikawinkan.” – Luk 20:35
Comments are closed