’15 PENYAKIT’ MENURUT PAUS FRANSISKUS – Part 1

Sebagai paroki etnik, KKI Melbourne beroperasi di berbagai daerah untuk mencakup kondisi geografis domisili umat yang cukup besar di 'Greater Melbourne area'. Halaman ini digunakan untuk memberikan lokasi dan waktu perayaan Ekaristi berbahasa Indonesia.

Oleh Fr. Blasius Trinold Asa, SVD

Dalam suatu kesempatan tertemuan tahunan dengan Kuria Romawi, berlangsung pada 22 Desember 2014, Paus Fransiskus sempat membeberkan ’15 penyakit’ yang dapat diidap di tubuh Kuria. (Terjemahan bebas ke-15 penyakit itu berdasarkan Vatican Insider pernah ditulis oleh Pastor Albertus Sujoko MSC.) ’15 penyakit’ itu kemudian dimunculkan kembali dalam buku terbaru Paus Fransiskus: A Gift of Joy and Hope, 2022. Bila direfleksikan mendalam, kelima belas penyakit yang disebutkan dapat melanda komunitas Gereja, baik secara komunal maupun individu, yang bisa melumpuhkan semangat menggereja dan beriman.

Edisi Barukh kali ini coba mengangkat ke permukaan ’15 penyakit’ a la Paus Fransiskus untuk direnungkan bersama demi perkembangan diri dan komunitas KKI. Kelima belas penyakit itu adalah sebagai berikut:

  1. The disease of thinking ‘immortal’ or ‘immune’ or ‘indispensible’.

Penyakit yang merasa bahwa kita ‘abadi’, ‘kebal’ atau ‘paling penting’ dapat menyebabkan kita menolak untuk melakukan check up rutin. Artinya, tidak dilakukan kritik-diri, tidak berusaha untuk up to date, dan tidak berusaha untuk memperbaiki diri, adalah seperti “badan yang sakit”.

-. Paus menyampaikan bahwa berkunjung ke pemakaman ibarat kita melihat ‘cermin’ diri kalau kita merasa diri paling penting tetapi fana. Mereka yang mengidap penyakit ini adalah seperti kisah Injil tentang orang kaya yang bodoh yang berpikir bahwa dia dapat hidup selama-lamanya, tetapi juga menghantam orang yang merasa diri “tuan”, berada di atas dari yang lain dan tidak melayani satu sama lain.

-. Penyakit ini sering timbul dari adanya patologi kekuasaan, semacam “superioritas kompleks” dan berasal dari suatu bentuk narsisme yang suka memandang dirinya sendiri tetapi tidak dapat melihat wajah Tuhan dalam diri sesama yang paling lemah dan paling membutuhkan.

Penangkal dari penyakit ini adalah rahmat yang mengungkapkan bahwa kita hanyalah orang berdosa dan ‘terbatas’, menyadari diri bahwa ‘kami hanyalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan (Lukas 17:10).

Dengan mengakui penyakit ini, kita menyadari kefanaan kita dan belajar menjadi pribadi yang rendah hati dalam melayani satu sama lain.

  1. The disease of ‘Martha Complex’

Dikenal juga sebagai penyakit super sibuk. Penyakit ini diidap oleh orang yang tenggelam dalam pekerjaannya dan mengabaikan ‘bagian penting,’ yakni duduk di kaki Yesus (bdk Luk 10:38-42). Di sini, Yesus mengingatkan murid-murid-Nya untuk ‘beristirahatlah sejenak’ (Mk 6:31).

Orang sibuk bekerja, menjadi hamba dari kerja sibuk dengan dunianya sendiri dan akhirnya lupa bagian penting dari tujuan hidup, lupa memberi waktu buat keluarga, lupa untuk berbagi cinta. Mengapa perlu beristirahat?

Waktu untuk beristirahat itu penting, vital dan harus dianggap serius. Maka kita diperlukan waktu untuk keluarga, menikmati liburan sehingga kita bisa recharge kembali energi spiritual dan fisik kita.

  1. The diseases of mental and spiritual ‘petrification’ (Penyakit rohani dan mental yang disebut: memetruskan diri).

Penyakit ini ditemukan dalam diri orang yang memiliki hati seperti batu, atau ‘keras kepala.’ kehilangan “kedamaian hati”, semangat hidup (vitalitas) dan keteguhan. Mereka menyembunyikan diri di balik kertas-kertas dokumen dan menjadi “mesin prosedur” dan bukan lagi Men of God; mereka tidak bisa lagi “menangis dengan orang yang menangis; dan tertawa dengan orang yang tertawa. Mereka menjadi dingin dan kaku, tidak punya kepekaan perasaan karena hati menjadi keras dan menjadi tidak mampu mengasihi Bapa dan sesama.

Disebut ‘Petrifikasi” karena seperti Petrus, yang ‘keras kepala’ menolak jalan Yesus: jalan penderitaan dan salib. Menurut Paus Fransikus, menjadi seorang Krsten berarti kita perlu menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Yesus kristus ( Filipi 2:5), dan menunjukkan kerendahan hati dan kebaikan. Menyadari penyakit ini berarti kita belajar menjadi lebih peka satu terhadap yang lain.

4. The disease of bad coordination (penyakit: koordinasi yang buruk)

Ketika kehilangan koordinasi dan komunikasi antara bagian-bagiannya, maka tubuh tidak akan berfungsi lama dalam harmoni dan keseimbangan. “Tubuh” itu kehilangan fungsinya yang harmonis sehingga menghasilkan bunyi orchestra yang fals karena para anggotanya tidak bekerja sama, hilang kolaborasi, dan hilang spirit persaudaraan. Maka ketika kaki berkata kepada tangan, ;saya tidak membutuhkan kamu,’ atau tangan berkata kepada kepala,’ sayalah yang berperan di sini.’ Kejanggalan dan skandal akan menjadi hasilnya.
menyadari penyakit ini berarti kita ingin bekerja sama secara tepat dalam koordinasi yang benar, entah di komunitas maupun di dalam rumah tangga.

5. Penyakit persaingan dan kemuliaan yang fana (The disease of rivalry and vainglory)

Ketika penampilan, model dan warna pakaian, jabatan dan kehormatan menjadi tujuan utama dalam hidup, itulah penyakit yang menjerumuskan mereka untuk menjadi orang-orang yang palsu; orang hidup dalam kesalehan yang palsu.

Apakah kita mementingkan ‘warna baju’ dalam berkomunitas?

Terhadap penyakit ini, kita diingatkan rasul Paulus dalam Filipi 2:2-3:”Hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri.”

6. Penyakit Gosip, desas desus, ‘Obral rumor” (The disease of gossip, whispering and rumour-mongering)

Penyakit ini membuat seseorang menjadi “penabur kekacauan”. Amat disadari bawha dalam banyak kasus, penggosip itu adalah “pembunuh berdarah dingin” terhadap reputasi atau nama baik dari saudaranya atau koleganya sendiri. Menurut Paus Fransikus, Penyakit gosip ini diderita oleh orang-orang penakut, yang beraninya bicara di belakang, tidak berani terus terang. Maka, “waspadalah terhadap terrorisme gossip!”

Rasul Paulus mengingatkan dalam Filipi 2:14-15: “Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka…”

7. Penyakit mendewakan (mentuhankan) pemimpin (The disease of idolising superiors)

Penyakit ini menghinggapi mereka yang “menyogok para atasan mereka”, mereka menjadi ‘korban’ dari karierisme dan oportunisme; mereka menyembah orang bukan Tuhan. Orang menghidupi panggilan dengan berfikir apa yang dapat saya peroleh dan bukan apa yang dapat saya berikan. Pasu menambahkan, para atasan juga mengidap penyakit yang sama jika ia menyuap para bawahannya untuk mendapatkan loyalitas dan kepatuhan mereka.

Dalam hidup menggereja, apakah kita menyembah orang? Atau haruskan hanya Tuhan sajalah yang kita sembah, kita muliakan? Penyakit ini mengingatkan kita akan bahaya favoritisme terhadap pastor atau pemimpin tertentu.

Bersambung….

Tags:

Comments are closed

Latest Comments