Oleh Stecia Oliviana
Happy Father’s Day untuk semua teman2 yang merayakaaan!!!!
Btw, berbicara mengenai Father’s Day, aku diingatkan kalau aku dibesarkan di keluarga yang cukup keras, orang tua (khususnya Papa) yang tidak pernah menunjukkan kasih ke anak-anak, dan mereka sangat pekerja keras sehingga kami bisa menghabiskan waktu sebagai keluarga hanya beberapa jam saat malam sebelum tidur. Di ingatanku, Papaku itu pekerja keras, kuat banget makan (bahkan sejak kami anak2 masih kecil), cukup murah hati kalau dimintain uang jajan, suka angkat besi setiap malam sehabis kerja, kalau kami anak2 nakal akan dihukum (masuk gudang or angkat kaki pegang kuping di pojokan) daaaan GA PERNAH PELUK ATAU CIUM kami anak2nya.
Hal ini membuat hubunganku ma Papa itu ga dekat. Bisa dibilang aku hampir tidak pernah merindukan dia. Papa hanya sekedar “Papa” saja yang bekerja keras banting tulang untuk keluarga kami. Sampai akhirnya aku besar, kami pindah ke Jakarta (Serpong lebih tepatnya), dan aku mulai bekerja dan terjun dalam pelayanan. Ada di masa2 aku sangat iri ma keluarga lain karena relasi anak dan papanya dekat sekali. Aku dan papaku sangat jauh dari hal itu. Mulai sejak kami pindah ke Serpong, saat imlek, secara gak langsung terbentuk tradisi orang tuaku memeluk dan mencium kami saat imlek, saat kami “pai” (beri penghormatan) ke orang tua. Saat Papa melakukan itu setiap tahun, itulah masa2 paling awkward untuk kami. Peluk dan cium nya hanya kayak papa pegang pundak kami dan cipaka cipiki.
Sampai akhirnya aku terjun makin dalam ke pelayanan, mengenal luka batin ku dan berjuang untuk sembuh, di sana lah Tuhan bukakan mataku untuk memahami mengapa Papaku seperti itu. Ternyata Papaku dari kecil pun tidak pernah merasakan kasih dari orang tuanya. Ama sangat sibuk bekerja untuk menghidupi 6 anak dan keluarga, Akong menjadi cacat dan sama sekali hilang kemampuan berkomunikasi (dan seingat Papa, ini sudah terjadi sejak dia masih kecil banget), dan Papa sejak kelas 1 SD pun setelah sekolah pasti dan bantu bekerja. Setelah aku memahami itu, lukaku perlahan2 sembuh, aku bisa mulai mencintai Papaku, aku mulai belajar sharing beberapa hal dalam kehidupanku ke Papa. Dan di titik saat hubungan aku tidak berhasil dengan mantan2ku, di sanalah aku bisa melihat betapa besar kasih Papaku ke aku yang ga mau melihat anaknya terluka atau disakiti 🥹😭.
Di saat akhirnya aku menemukan tulang rusukmu dan menyampaikan ke Papa kalau aku akan mengikuti doa pindah ke Australia, Papaku tuh sangaaat berat hati. Aku ingat percakapan kami, “kalau kamu kenapa2 dalam rumah tanggamu, suamimu ga sayang ma kamu, dan kamu jauh dari rumah, jauh banget karena terpisah benua, kamu gak bisa pulang ke “rumah”, gimanaa?”, untuk pertama kalinya dalam hidupku dia menuangkan pikiran dan perasaannya. Akhirnya di waktu2 tersisa sebelum pernikahanku, kami selalu berusaha meyakinkan Papa bahwa calon suamiku ini sangaaat sangaaaat sangaat menyanyangi ku. Saat menikah pun aku bener2 request ke Romo untuk dibolein, Papa yang temanin aku jalan ke altar dan “menyerahkanku” ke suamiku, agar dia benar2 bisa plong dan ikhlas.
Akhirnya kisahku dengan Papaku berakhir dengan happy ending. Bapaku di Surga tidak membiarkan aku hanya merasakan kasih dari padaNya, tetapi juga kasih dari Papaku di dunia.
Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. (TB Pkh 3:11a)
Terima kasih, Tuhan untuk pengalaman hidupku sejak kecil secara khusus bersama Papaku. Terima kasih untuk mengaruniakan Papa yang luar biasa untukku yang sangat menyayangiku dengan caranya. Terima kasih, Engkau membuatku mengerti dan melihat semuanya. Terima kasih untuk kesabaran yang Engkau berikan kepadaku dan membuat semua indah pada waktuMu. Terima kasih, Tuhan Yesus ku. Amin.
Comments are closed