Oleh Fr. Blasius Trinold Asa, SVD
Dikisahkan dalam sebuah cerita rakyat dari Jerman, hidup seorang bernama Heidermann. Heidermann mempunyai motto hidup “Carpe Diem”: selama masih ada kesempatan, maka nikmatlah kehidupan sekarang ini sepuas-puasnya. Tidak mengherankan, kalau dia menjalani hidupnya untuk memburu kenikmatan. Dan, pada suatu malam ketika sedang berpesta pora, dia didatangi oleh malaikat maut. Ia merasa terkejut karena mendapati dirinya belum siap. Maka dia meminta ditunda penjemputannya tersebut. Akan tetapi malaikat maut itu menolak. Dalam keadaan terdesak Heidermann meminta apakah bisa dibawa bersamanya seorang teman untuk membelanya dihadapan pengadilan Allah. Malaikat maut itu tidak berkeberatan. Tetapi tidak seorang pun dari teman-temannya yang bersedia menghadap pengadilan Allah. Mereka semua tidak siap dan merasa terlalu cepat meninggalkan dunia ini. Heidermann teringat akan pacarnya yang pernah berjanji untuk sehidup dan semati, tetapi ketika ditanya, pacarnya itu menolak untuk dibawa ke dunia orang mati. Pacarnya mengatakan:’ ya saya berjanji untuk sehidup, tapi untuk semati, sabar dulu.” Akhirnya pada malam itu juga Heidermann dijemput malaikat maut tanpa persiapan sedikit pun.
Kisah cerita rakyat di atas mengingatkan kita bahwa kewaspadaan itu penting. Heidermann merasa tidak siap menghadap ke pengadilan allah karena lalai berjaga-jaga: menjalani hidup yang baik dan berkenan di mata Tuhan. Kita tidak ingin seperti Heidermann, bukan? Maka, kita perlu waspada akan banyak hal yang bisa saja terjadi dalam hidup ini. Dalam Markus 13:33-37, Yesus memberi peringatan kepada para murid-Nya agar selalu berjaga-jaga karena saat kedatangan-Nya dalam kemuliaan sama dengan seorang tuan rumah yang bepergian, tetapi tidak diketahui jam berapa dia pulang.
Mengapa pada minggu I Adven ini, warta Injil mengingatkan untuk berjaga-jaga? Marilah kita merenungkan beberapa point berikut. Pertama-tama, Kita adalah peziarah yang sedang berjalan menuju suatu kepenuhan hidup yakni persatuan dengan Allah. Sebagai perziarah di dunia ini, kita hanyalah mahluk fana nan rapuh bagaikan tanah liat, yang membutuhkan tangan kuat untuk membentuk diri kita. “Kami ini tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami semua adalah buatan tangan-Mu.” (Yes 64:8) Bila Adven adalah saat untuk menanti kedatangan Juru Selamat, maka penantian ini adalah kesempatan untuk merasakan bahwa datangnya Tuhan tidak ingin disia-siakan karena ketidaksiapan kita, melainkan saat berahmat bahwa dari tahan liat yang rapuh itu, Allah ingin membentuk kita menjadi pribadi yang tangguh, berguna dan bernilai di mata Tuhan dan sesama. Bila demikian, apakah turbulensi dalam hidup harus memporakporandakan harapan dan kepercayaan pada Tuhan?
Kedua, Adven selalu membawa harapan, maka itu minggu I masa Adven disebut minggu pengharapan. Memulai masa Adven dengan pengharapan akan membangkitkan semangat; menghalau galaunya hati karena pikiran, keraguan dan ketidakpercayaan yang tidak menentu. Orang yang berharap adalah orang yang selalu percaya bahwa Tuan rumah akan segera tiba dan akan mendapati penjaga pintu tidak tertidur, tetapi berjaga-jaga. Namun, berjaga-jaga bukan sekedar tidak tertidur saja, tetapi juga bermakna spiritual yakni berdoa. Dalam Markus 14:38 dikatakan: “berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan.” Siapapun yang tidak berjaga atau ‘tidur’ akan menuju ke dalam kehancuran, seperti kisah Simson yang membiarkan dirinya ditidurkan, sehingga kehilangan kekuatannya, karunia Tuhan (Hak 16:19). Orang yang teguh berharap akan selalu terjaga berjaga-jaga dan berdoa agar kita tidak tertipu dan dengan demikian menuju kebinasaan sendiri (Mrk 13:22 + Yoh 1: 6).
Ketiga, berjaga-jaga sambil terus berharap dan berdoa menunjukkan sikap kesetiaan. Dalam Injil dikatakan: “ibaratnya seperti seorang yang bepergian, yang meninggalkan rumahnya dan menyerahkan tanggung jawab kepada hamba-hambanya, masing-masing dengan tugasnya, dan memerintahkan penjaga pintu supaya berjaga-jaga”. Sama seperti hamba-hamba yang diserahi tanggungjawab sesuai tugasnya, demikian pula di masa Adven ini kita diharapkan menyadari sekali lagi kesetiaan kita dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang telah dipercayakan; sebagai ibu yang sabar meladeni anak-anaknya, sebagai ayah yang mengayomi keluarga dengan cinta dan keteladanan, sebagai rekan kerja yang loyal karena memegang prinsip kebenaran dan kebaikan bersama, dan juga sebagai pelayan Tuhan di komunitas kita agar orang lain pun turut merasakan kebaikan dan kasih Allah yang terpancar dalam diri kita.
Marilah di masa Adven ini kita berjaga-jaga selalu dalam iman dan pengharapan. Adven tidak hanya ingin diisi dengan hadiah Natal, hiasan Natal, kue Natal dsb. Semuanya itu untuk membangkitkan sukacita persiapan lahiriah. Kita perlu juga menyiapkan sukacita batin di masa penantian ini yakni dengan berjaga-jaga dan berdoa yang lebih intens lagi, sehingga kita kedapatan siap sedia merayakan Natal dengan spirit hidup yang bersandar pada kekuatan Allah dan penyertaan-Nya dalam seluruh peziarahan hidup ini.
Comments are closed