Bersandar kepada Bunda

Oleh Suharjo Djais

Saya besar di keluarga Kong Hu Cu dan sejak kecil saya selalu diajak sembahyang di klenteng oleh orang tua saya. Sampai saya berumur 12 tahun, Alm. Papa saya kemudian membebaskan saya untuk memilih keyakinan yang ingin saya ikuti, dan perjalanan belajar dari satu agama dan kepercayaan ke lainnya membawa saya akhirnya melabuhkan hati saya di agama Katolik Roma yang salah satu alasan saya akhirnya memilih mengikuti ajaran Katolik adalah Bunda Maria. Saya menjadi Katolik melalui sekolah katekumen selama setahun penuh dan sepanjang hidup saya sejak dibaptis sampai sekarang saya beberapa kali mengalami pengalaman rohani yang berhubungan langsung dengan Sang Bunda yang melalui tulisan ini saya coba bagikan sebagai salah satu cara saya bersyukur karena sudah didampingi oleh Bunda sampai saat ini.

Salah satu pengalaman rohani bersama Bunda Maria yang paling berkesan dalam kehidupan saya adalah proses selama kehamilan dan kelahiran kedua anak kami. Istri saya kebetulan salah satu dari sekian banyak orang di dunia yang memiliki sindrom kekentalan darah atau biasa dikenal dengan nama Syndrome Hughes. Kelainan darah ini baru terdeteksi setelah dia mengalami keguguran anak pertama kami karena saat dia hamil dimana darah secara alami memang menjadi lebih kental untuk orang hamil dan ditambah dengan kelainan darah yang dia miliki membuat kekentalan menjadi semakin kental dan membuat darah tidak bisa mengalir ke janin melalui tali pusar saat di rahim dan membuat janin tidak akan mampu bertahan sampai lebih dari 8 minggu karena tidak ada aliran nutrisi dari Ibunya.

Kelainan ini hampir membuat kami tidak bisa memiliki anak, sampai pada suatu hari setelah kami sudah hampir menyerah karena cape pindah dari satu dokter spesialis darah ke yang lainnya untuk mencari cara agar bisa hamil dengan kondisi darah yang dimiliki istri saya, Tuhan menunjukan jalan melalui salah satu kawan kantor saya untuk berkonsultasi kepada seorang dokter kandungan yang memang spesialis dengan kasus kekentalan darah seperti yang dialami oleh istri saya. Dari konsultasi itu kami mendapatkan jalan dan dari hasil cek darah kesimpulannya istri saya harus disuntik pengencer darah selama hamil untuk menjaga agar janin tetap mendapatkan nutrisi tapi dia tidak bisa lahiran normal karena beresiko meninggal jika pendarahannya tidak bisa dikontrol selama melahirkan. Dan itulah yang terjadi selama kehamilan anak pertama kami, istri saya harus saya suntik dengan heparin (obat pengencer darah) pagi dan sore sampai si anak lahir atau 8 bulan lebih tanpa putus, kebayang kan rasanya disuntik dua kali sehari sampai lahiran, kami pindah dari perut kiri ke kanan lalu ke paha kiri kemudian pindah paha kanan karena setelah berulang kali disuntik area tubuh istri jadi biru lebam itulah kenapa kami harus pindah area lain. Itu masih belum seberapa, penjelasan dokter yang mengatakan jika ada besar kemungkinan anak bisa lahir cacat untuk kasus darah kental karena kekurangan nutris adalah yang paling membuat kami was-was.

Kami pun novena kepada Bunda dan novena yang kami lakukan bukan 7 hari atau 7 minggu tapi dari istri ketahuan hamil sampai dia lahiran tanpa putus setiap malam. Kami meminta kepada Bunda agar melindungi si bayi juga ibunya dan agar mereka bisa melewati semuanya dengan baik tanpa kurang apapun. Dan akhirnya Arland pun lahir dengan baik walaupun Ibunya sempat pendarahan karena darahnya terlalu encer dan harus berada di ruang operasi 3 jam lebih lama dari seharusnya, karena dokter kewalahan menghentikan pendarahan istri saat cesar (diharuskan cesar karena kondisi darah yang dimiliki istri tidak memungkinkan dia lahiran normal). Kami pun lega luar biasa saat melihat si bayi, semua utuh, organ lengkap dan kondisi sehat. Setelah Arland berusia 3 bulan kami pun membaptis dia secara Katolik dan menitipkan dia kepada Santo Pelindung yang kami ambil dari doa Novena itu sendiri yaitu Santo Antonius dari Padua.

Setelah 2 tahun istri ternyata hamil lagi, pengalaman selama kehamilan Arland sudah mulai membuat kami was-was, hari-hari penuh suntikan yang membuat pilu sedikit banyak sudah cukup membuat kami menarik napas. Kami pun berkonsultasi kepada dokter kandungan yang sama lagi dan puji Tuhan untuk kehamilan anak kedua istri saya tidak perlu sampai disuntik tiap hari seperti kehamilan pertama, tapi cukup minum obat pengencer darah tiap hari phiuhhh… leganya kami saat itu. Tidak lupa Novena pun langsung kami panjatkan lagi setiap malam sampai Jovan lahir.

Di bulan ke-3 saat kami cek up ke dokter kandungan kami mendapatkan kabar mengejutkan, si bayi terdeteksi down syndrome dari hasil USG. Langsung lemes ini kaki saat mendengar hal itu, dokter menganjurkan USG 3 dimensi untuk memastikan dan untuk kami mengambil keputusan mumpung masih 3 bulan jika ternyata si bayi memang akan lahir dengan kondisi down syndrome.

Pulang sampai kerumah saya pesan kepada istri saya “Kita Katolik, apapun hasilnya nanti, Tuhan yang memberi biarkan Tuhan yang ngambil ya… kita jangan mengugurkan dia, kita jaga dan besarin dia sampai saatnya dia harus kembali kepada Tuhan”, istri pun hanya mengangguk sambil terisak, walaupun belum tentu beneran down syndrome tapi sebagai seorang ibu, dia tetap tertekan. Novena pun tetap tidak putus saat itu, kami sekali lagi meminta perlindungan dari Bunda agar semua baik-baik saja dan jika yang terburuk yang terjadi, tolong siapkan dan kuatkan kami sebagai orang tua si bayi.

Sampailah kepada hari USG 3 dimensi, dan hasilnya sekali lagi Puji Tuhan kemungkinan down syndrome ternyata sangat kecil sekali walaupun ada. Rasanya saat itu saat mendengar hasilnya, kaki sekali lagi lemes tapi kali ini lemes bahagia. Sampailah si Jovan lahir dan puji Tuhan semua lengkap, baik, normal, dan sehat. Dan saat dia berumur 3 bulan kami baptiskan dia secara Katolik dan kami pun menitipkan dia kepada Santo Pelindung yang kami pilih sekali lagi dari doa Novena, yaitu Santo Leonardus dari Porto Mauritio. Itulah latar belakang kenapa nama baptis kedua anak kami adalah para Santo dari doa Novena.

Doa saya kepada Bunda tidak selalu terkabul. Ada satu momen dimana saya begitu kecewa dan hancur karena Novena saya tidak terkabul walaupun kami sudah begitu terdesak dan benar-benar membutuhkan bantuan, tapi setelahnya saya menangkap makna dibalik semua itu 2 tahun kemudian. Tahun 2015 kami sempat migrasi ke Australia, saat itu kami datang dengan satu bayi dan satu balita, tanpa pekerjaan dan dengan tabungan seadanya. Sesampainya di Melbourne saya mulai berusaha mencari pekerjaan sambil kerja di restoran. 3 bulan melempar CV tidak ada satupun yang berhasil sedangkan kerja di restoran tidak bisa membantu menutup pengeluaran kami sekeluarga dan tabungan kami mulai menipis saat itu. Saya sekali lagi Novena, tapi saat itu Novena saya tidak dikabulkan dan kami berakhir harus pulang lagi ke Jakarta karena tabungan sudah mulai habis.

Saya kecewa saat itu dan merasa ditinggal oleh Bunda, sesampai di Jakarta saya langsung diterima kerja oleh salah satu perusahaan IT disana dan setelah beberapa bulan bekerja saya diajak salah satu kawan di kantor itu mengikuti pelajaran untuk menerima sakramen Krisma di Paroki rumah kami (kebetulan Paroki kami sama). Saat itu saya sempat tertegun, inikah yang membuat saya pulang karena saya pernah berjanji kepada Romo yang memberkati pernikahan kami jika saya akan melakukan sakramen Krisma setelah menikah dan kemudian hal itu terlupakan. Setelah menerima sakramen Krisma tidak lama kemudian saya mendapatkan jalan untuk sekali lagi migrasi ke Australia untuk kedua kalinya di tahun 2017. Sepanjang 2017 sampai saat ini saya melihat tidak dikabulkannya Novena saya di 2015 bukan karena Bunda meninggalkan saya, tapi justru karena Bunda ingin saya membayar utang saya dengan sakramen Krisma terlebih dahulu karena mungkin sudah ketebak saya akan semakin malas dan lupa saat sudah berada di Australia (dan saya akui itu ada benarnya) dan tentunya juga ingin membantu saya menjadi lebih siap dengan semua tantangan yang ada disini yang mulai saya pahami di tahun kedua kami migrasi ke Australia, sampai istri saya bilang ke saya “jika saat itu kita tidak dipaksa pulang dulu, mungkin kita tidak akan bisa bertahan saat ini. Tuhan memang lebih tahu kapan kita bisa migrasi” yang tentu langsung saya iyakan.

Saya masih memiliki banyak pengalaman lainnya bersama Bunda di sepanjang hidup saya baik yang terkabul maupun yang tidak terkabul, ketiga momen diatas adalah beberapa yang paling berkesan buat saya karena kejadian-kejadian itu membuat saya bisa merasakan kehadiran Tuhan dan selain itu juga membuat saya belajar memaknai rencana-Nya yang tidak terlihat saat doa kita belum dikabulkan oleh-Nya. Dari seluruh doa Novena yang saya maupun kami panjatkan, jika boleh jujur lebih banyak yang tidak terkabul dibandingkan yang terkabul. Walaupun banyak yang tidak terkabul, hal itu tidak lalu membuat kami berhenti bersandar kepada Bunda karena kami tetap bisa belajar untuk melihat makna dibalik kenapa doa kami tidak dikabulkan ketimbang berkeluh kesah dan merasa kecewa, karena, sering kali tidak dikabulkannya doa kita justru karena Tuhan menyayangi kita baik karena ketidak-siapan kita maupun keterbatasan yang masih kita miliki untuk bisa menerima berkat itu saat ini. Jadi saya sering bilang ke istri saya “doa kita sedang ditunda oleh-Nya sampai kita siap, bukan ditolak”

Seperti yang sering kita dengar jika Tuhan paling tahu kapan waktu yang tepat dan terbaik untuk kita, itu memang terjadi dan sudah saya buktikan. Kadang jalan yang Tuhan tunjukan memang tidak masuk di akal, perih dan menyakitkan tapi semua itu tidak lain adalah untuk menyiapkan kita sebelum apa yang kita minta dikabulkan oleh-Nya.

Tulisan ini sudah mendapatkan ijin dari Istri saya untuk dibagikan dan semoga beberapa pengalaman rohani dalam kehidupan kami yang sederhana ini bisa membuat iman kita semakin kuat dan juga membuat kita selalu ingat jika kita masih memiliki Bunda Maria untuk kita bersandar dan curhat, yang tidak pernah lelah mendengarkan anak-anak-Nya, terlebih saat hidup kita terasa berat dan penuh dengan tantangan.

Salam…

Tags:

Comments are closed

Latest Comments