Oleh Petter Sandjaya
Ketika memberi judul ini, saya terinspirasi dari kotbah Chaplain kita ketika menyelenggarakan ekaristi di gereja St. Martin de Porres, Laverton. Bahwa kita: yakni kamu dan saya, memang tidak diajak untuk menjadi garam dan terang. Kok bisa? Silahkan buka buku suci anda yang berdebu itu di Mat 5: 13-14. Di situ dikatakan kamu adalah garam dan terang. Nah, kalau kita ini sudah disebut sebagai garam dan terang, untuk apalagi diajak menjadi garam dan terang. Jadi mulai sekarang tanamkan dalam perspektif hidup, bahwa kita garam dan terang. Pertanyaannya sekarang adalah, seasin apa hidup kita dalam mengasinkan “masakkan” kehidupan ini? Seterang apa cahaya kita dalam menerangi kegelapan hidup ini? Tawarkah kita sebagai garam? Atau redupkah kita sebagai cahaya?
Beberapa waktu lalu saya mengikuti sebuah rekoleksi yang ditujukan untuk para pengurus KKI Melbourne. Tema rekoleksi tersebut adalah “Hendaklah Terangmu Bercahaya” yang dinyatakan sebagai tema pelayanan pengurus KKI Melbourne selama 1 tahun ke depan. Ketika sampai pada sesi sharing kelompok kecil, di situlah saraf otak kanan saya langsung kesetrum seperti listrik. Mendengar sharing dari 3 rekan yang lain, mata saya jadi terbuka tentang arti dari menjadi terang itu. Weleh, weleh… Yang tadinya tak semangat hadir, tiba-tiba jadi 180 derajat berubah. Aneh bin nyata memang ketika pekerja yang tak kasat mata itu (baca: Roh Kudus), bekerja melalui hati, lalu melogikannya ke kehidupan yang sudah saya jalani.
Begini pesan yang saya dapat tentang menjadi terang yang bercahaya. Pada waktu kita berjalan-jalan di siang hari di Melbourne CBD yang hiruk pikuk itu. Mulai dari mahasiswa, keluarga, orang pacaran, tukang ngamenn, pesulap yang unjuk gigi, sampai pengemis yang menggambar karyanya di lantai trotoar Pernahkah kita menyadari lampu jalanan ada yang menyala? Tentu tidak. Karena terangnya tak mampu mengusik apa yang sedang kita lihat di sekitar kita. Terangnya tak mampu membuat perbedaan dengan tingkat cahaya yang masuk ke dalam mata kita. Sekarang bayangkan cahaya matahari hilang dan tenggelam, alias menjadi malam. Lampu jalan yang tadinya tidak kita anggap, menjadi sesuatu yang berperan penting dalam perjalanan kita malam itu.
Kesimpulannya, ketika kita melayani, baik di gereja maupun di tempat kerja, terasa tidak bermanfaat bilang tempatnya banyak orang yang satu signal dengan kita. Bukankah akan lebih bermanfaat bila pelayanan itu dilakukan di tempat yang penuh dengan kesalahan, error, acuh tak acuh, ketidak-adilan, tidak dihargai, kesenjangan, diskriminasi, atau bahkan bullying?
Hal lumrah ketika kita berekreasi ke pantai sekalian mengambil foto sebagai kenang-kenangan memori. Namun adakah yang pernah kurang kerjaan, mengambil foto teriknya matahari di atas langit? Mungkin anda pernah. Baguskah? Atau fotonya terbilang membosankan karena hanya lingkaran putih bercahaya saja. Bila ada sedikit awan, mungkin dapat terbilang menarik. Tapi, kenapa lebih banyak orang mengambil foto ketika matahari mendekati terbenam di ufuk barat? Atau ketika terbit di sebelah timur? Karena ketika terang bercampur dengan gelap, semua hal di sekitar terasa seperti sebuah fenomena. Karena ketika terang bersebelahan dengan gelap, semua lidah berdecak kagum. Dan ketika terang membaur dengan gelap, semua mata memandang dan berusaha mengabadikan. Tapi tidak pada saat siang bolong dan terik.
Mari kita melihat tempat kerja kita, rumah kita, orang-orang di komunitas kita, atau bahkan di gereja kita. Kegelapankah yang kita lihat? Suram, hampa, dan dinginkah yang kita rasakan? Jika ya, maka inilah tempat yang tepat. Mungkin di sinilah kita akan nampak. Mungkin ini waktunya bagi kita dapat bermanfaat dan dinikmati banyak orang.
“Diamonds” adalah sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Rihana. Diamond tidak bercahaya karena diamond bukan sumber cahaya. Namun sebagian liriknya menyebutkan bahwa kamu seharusnya bersinar seperti diamond. Untuk itu kita harus mau dibentuk, diasah, memadatkan isi, bersih dan berkilau seperti diamond, agar cahaya dariNya dapat terpantul sepenuhnya melalui hidup kita.
Selamat menjalani hari-hari yang penuh tantangan, karena hari-hari ini telah diciptakan untuk kamu dan saya agar Dia semakin diakui oleh dunia. Tuhan Yesus memberkati kita semua. Amin.
Comments are closed