Oleh Rev. Albertus Herwanta, O. Carm
Kemurahan Hati Para Janda
Oleh: Rev. Albertus Herwanta, O. Carm
Sabda Tuhan itu menguji hidup kita. Apakah kita ini orang yang bertekun atau gampang menyerah, rendah hati atau sombong, beriman atau suka mengandalkan diri sendiri, pelit atau murah hati?
Hari ini sabda Tuhan mengajak kita untuk merefleksikan hidup kita. Dua janda dalam bacaan-bacaan hari ini menampilkan orang yang murah hati. Keduanya mengorbankan diri sendiri dan kepentingannya demi orang lain. Janda Sarfat mengutamakan nabi Elia, abdi Allah, daripada diri sendiri dan anaknya.
Apakah balasan yang mereka terima? “Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang sesuai dengan firman Tuhan yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia” (1 Raja-raja 17:16).
Janda miskin dalam Injil hari ini menegaskan dobel minoritas. Sebagai janda dia kehilangan jaminan kesejahteraannya, karena tidak dapat mengharapkan bantuan sosial-ekonomi dari keluarga suaminya. Kalau dia mempunyai warisan masih lumayan. Tetapi dia itu miskin. Artinya tidak memperoleh apa pun dari suaminya yang sudah mati. Hidup tanpa jaminan ekonomi.
Namun demikian, dia memberi dari kekurangannya, semua yang dimilikinya, yaitu seluruh nafkahnya (Markus 12:44). Dia merelakan miliknya dan mempersembahkannya kepada Tuhan. Karena itu, Tuhan Yesus menyebutnya memberi lebih banyak daripada semua orang yang memberi dari kelimpahannya (Markus 12:44).
Kedua janda itu berbeda. Yang pertama bukan Yahudi dan yang kedua adalah orang Yahudi. Namun keduanya sama-,sama bersifat murah hati. Bukankah Tuhan Yesus mengajarkan supaya kita bermurah hati seperti Bapa di surga murah hati (Lukas 6:36)? Dia juga bersabda, ‘Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan’ (Matius 5:7).
Dari mana sumber kemurahan dua janda itu? Kemurahan hatinya mengalir dari iman dan kasih-Nya kepada Tuhan. Janda Sarfat itu “berbuat seperti yang dikatakan oleh Elia. Maka perempuan itu, dan anaknya mendapat makanan beberapa waktu lamanya” (1 Raja-raja 17:15).
Hari ini kita belajar bahwa bermurah hati bisa datang dari keadaan berkekurangan. Keberanian untuk bermurah hati tidak berasal dari kemampuan ekonomi yang kuat, melainkan dari iman dan kasih yang kuat. Hanya orang yang mengasihi Allah dan sesama dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan dapat melakukannya. Bukankah ini inti sabda Tuhan hari Minggu lalu? Dengan kata lain, dua janda itu contoh konkret dalam melaksanakan perintah utama. Apakah kita mau mencontoh kemurahan hati para janda itu?