Oleh Julianto Siaril
Dalam perjamuan pesta perkawinan, terhidang makanan bermacam ragam dan mahal mahal. Karena biasanya tuan rumah menyediakan makanan terbaik dan berlimpah, agar pesta dapat berjalan dan berkesan bagi para tamu.
Tapi sayang, pada akhir perjamuan, di satu meja, banyak makanan yang tersisa dan tidak tersentuh. Rupanya menu yang disajikan tidak sesuai dengan karakter tamu yang di undang. Makanan tersisa setelah dibungkus, ada delapan container yang terkumpul.
Makanan yang tersisa ini bisa berakhir di tong sampah dan terbuang percuma, kecuali ada yang bersedia membawanya pulang. Terbuang percuma berarti gagal memenuhi fungsinya memberikan kekenyangan dan kesukacitaan.
Seandainya ada orang yang berkekurangan makanan dan sudah berhari hari menahan lapar karena kurang makan, tentulah makanan ini akan mendatangkan suka cita yang luar biasa, seperti layaknya menemukan harta karun. Yang tersisa dan terbuang disatu sisi menjadi bernilai dan berguna disisi lain.
Kita membaca berita yang sangat tragis baru baru ini, empat orang didalam satu keluarga disatu perumahan, ditemukan meninggal karena berhari hari kelaparan tidak punya makanan.
Ketika kita berbenah rumah, sering kita menemukan ternyata banyak barang barang yang pernah dibeli tertumpuk dan tidak pernah terpakai. Setelah bertahun tahun menjadi tumpukan tak terpakai, akhirnya kita merasa tidak ada nilainya lagi buat kita. Kita siap membuang atau menyumbangnya.
Inilah kesiasia an.
Kalo kita melatih diri untuk peka terhadap kesiasia an, lama kelamaan akan terbentuk didalam diri, penolakan terhadap kesiasia an itu. Penolakan ini menjadi bagian nilai kehidupan yang mempengaruhi tindakan, sepak terjang, hidup kita sehari hari. Mendasari setiap keputusan dan perbuatan baik kita dalam keseharian kita. Kita akan berjuang setiap waktu agar kesiasia an tidak terjadi didalam setiap tindakan dan keputusan yang kita ambil. Kesiasia an menjadi musuh bagi kita.
Makanan yang tersisa dan terbuang dibawa pulang untuk menjadi makanan kita, sehingga kita tidak perlu membeli makanan lagi. Atau kita akan berusaha mencari siapa yang mau menampung. Uang yang tidak jadi kita keluarkan untuk membeli makanan bisa digunakan untuk hal hal lain lagi yang berguna baik bagi kita dan terutama bagi sesama. Seperti juga dengan uang yang tidak jadi dikeluarkan untuk konsumsi yang berlebihan dan tidak terpakai.
Nilai nilai kehidupan seperti ini niscaya membuahkan hal hal yang positif. Kita akan lebih banyak, lebih sering dan lebih peka berderma, melakukan pelayanan. Karena harta yang kita pakai adalah konversi dari nilai kesiasia an menjadi nilai kebergunaan. Tidak ada lagi keinginan untuk memotong derma, setiap kali ada kesempatan melakukan amal. Sama seperti sisa makanan yang dengan senang hati kita berikan kepada orang yang kelaparan dan membutuhkan.
Mentalitas konsumsi yang bertanggung jawab, musuh dari kesiasia an, menyebabkan kita mempunyai dana percuma yang bisa didonasikan dengan percuma dan tanpa beban.
Menghidupkan kepekaan akan kesiasia an itu sulit, karena tidak praktis, mengganggu rasa dan membutuhkan usaha dari kita. Dibutuhkan kesadaran penuh sebagai bagian dari iman bahwa kesiasia an adalah dosa. Karena itu harus dihindari dan dicegah. Kalo kita latih untuk mengelola kesiasia an menjadi nilai kehidupan kita, menjadi bagian dari pertumbuhan iman kita, bukankah akan berdampak yang luar biasa bagi bumi kita yg hanya satu ini dan juga bagi kemanusiaan. Semoga
Comments are closed