Oleh Thomas Rizal Trika
Hari Jumat lalu di PD kami mengundang Ibu Ratna Nirmala dari Jakarta sebagai pembicara untuk memberikan renungan kepada kami.
Bacaan malam itu diambil dari Kisah Para Rasul 3: 1-10 yang mengisahkan bagaimana Santo Petrus menyembuhkan seorang lumpuh yang pekerjaannya meminta sedekah di dekat pintu gerbang Bait Allah yang bernama Gerbang Indah.
Dikisahkan ketika Santo Petrus dan Yohanes hendak masuk ke Bait Allah, orang yang lumpuh itu pun langsung meminta sedekah dari mereka dengan harapan akan mendapatkan sesuatu dari mereka. Tapi Petrus berkata “Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah”. Seketika itu juga orang yang lumpuh itu pun sembuh berkat perjumpaan pribadi-nya dengan Yesus dari Nazaret.
Yang saya renungkan dari materi malam itu adalah sebenarnya banyak juga orang yang lumpuh saat ini. Mungkin bukan lumpuh fisiknya, tetapi lumpuh rohaninya.
Ciri-ciri orang yang lumpuh rohaninya adalah kecenderungan untuk menarik diri dari komunitas gerejawi. Banyak alasannya. Mungkin dia terluka. Mungkin dia merasa tidak disapa. Merasa dihakimi oleh umat gereja lain. Apapun alasannya dia tidak lagi merasa perlu datang ke gereja. Rohaninya lumpuh total karena sibuk terhimpit dengan kesibukan duniawi atau tidak bisa merekonsiliasi pengalaman pribadi yang dialaminya dengan kehidupan dalam komunitas gerejawi. Orang-orang seperti ini biasanya lalu menjadi acuh, bitter (pahit) dan berpandangan negatif terhadap segala sesuatu yang berbau rohani.
Ada juga yang merasa selama rutin menghadiri misa seminggu sekali seharusnya sudah cukup dan tidak perlu lagi mengikuti kegiatan-kegiatan komunitas gereja diluar jadwal misa. Walaupun orang-orang semacam ini rutin datang ke misa, tetapi mereka tidak merasakan bertumbuh secara rohani. Semua yang berbau rohani dirasakan hambar dan bersifat rutinitas saja. Mau terlibat dalam pelayanan kalau ada waktu saja. Tidak merasakan adanya panggilan Tuhan untuk melayani dan melihat pelayanan lebih seperti pekerjaan. Maka biasanya orang-orang semacam ini juga dikenal dengan orang-orang KTP (Katolik Tanpa Perasaan).
Nah apakah orang-orang yang aktif di dalam lingkungan gereja luput dari gejala kelumpuhan rohani? Jelas TIDAK. Aktifis gereja pun bisa lumpuh rohani. Ciri-cirinya adalah mudah marah dan tersinggung. TIdak mudah memaafkan teman komunitasnya yang mempunyai pendapat berbeda. Merasa dirinya yang paling benar, paling tahu, dan cepat tersinggung kalau keinginan atau pendapatnya tidak didengar. Mencari popularitas dan kemegahan diri sendiri. Iri hati melihat pelayanan orang lain berhasil. Bersaing berebut ‘domba’ dalam pelayanan. Ini semua biasanya terjadi karena yang bersangkutan jarang atau malah tidak pernah menanyakan Tuhan apa yang Tuhan mau dia kerjakan untuk komunitas yang dilayaninya. Kejauhan dari Tuhan inilah yang menyebabkan banyak juga aktifis gereja yang sebenarnya juga sedang mengalami kelumpuhan rohani.
Kelumpuhan fisik mudah sekali dilihat. Tetapi kelumpuhan rohani seperti diatas tidak mudah dilihat dan dirasakan. Cara paling mudah adalah dengan berefleksi dan menyadari apakah saya sedang mengalami gejala-gejala diatas.
Semoga lewat tulisan ini, saya dan Anda diajak untuk menjadi semakin peka akan gejala-gejala kelumpuhan-kelumpuhan rohani. Dan apabila saya dan Anda merasakan kelumpuhan rohani itu, semoga kita mempunyai kerendahan hati untuk datang kembali kepada Yesus Kristus, orang Nazaret itu dan segera meminta kesembuhan dalam nama-Nya dan bertobat supaya kita bisa segera kembali ‘berdiri, berjalan, dan melompat-lompat memuji Allah’