Menemukan Allah dalam Diri Para Difabel

Sebagai paroki etnik, KKI Melbourne beroperasi di berbagai daerah untuk mencakup kondisi geografis domisili umat yang cukup besar di 'Greater Melbourne area'. Halaman ini digunakan untuk memberikan lokasi dan waktu perayaan Ekaristi berbahasa Indonesia.

Oleh Siven Sogen

Salah satu program di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma adalah “Pengabdian Sosial”. Melalui program ini, para mahasiswa dilatih untuk bekerjasama dalam masyarakat. Kegiatan ini kiranya tidak hanya menekankan pada perjumpaan dan perwujudnyataan pengetahuan, melainkan lebih dari itu, pengalaman perjumpaan dengan masyarakat kiranya menjadi sarana pembelajaran dan pembanding akan relevansi segala ilmu dan pembelajaran di bangku kuliah. Apalagi sebagai Fakultas Teologi, yang terpenting dari kegiatan pengabdian sosial adalah sejauh mana pengalaman perjumpaan ini menggugah kesadaran mahasiswa akan kemendesakan teologi berhadapan dengan situasi masyarakat. 

Perjumpaan Pribadi dengan Para Difabel

Pada pertengahan bulan Juni sampai akhir Juli 2019, saya bersama keempat teman saya menjalani masa Pengabdian Sosial di Panti Asuhan Cacat Ganda Bakti Asih, Bongsari, Semarang. Pilihan untuk berjumpa dan melayani mereka dalam kegiatan pengabdian sosial ini merupakan pengalaman pertama bagi saya. Seperti apa orang difabel, bagaimana melayani dan berinteraksi dengan mereka, apa yang bisa saya lakukan dan saya bagikan untuk mereka, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang selalu berkecamuk dalam pikiran saya. Apa yang menjadi kekuatan bagi saya adalah kesadaran saya bahwa mereka juga adalah sesama saya. Saya hanya membutuhkan kemampuan untuk beradaptasi supaya bisa berelasi dengan mereka. Dengan bermodalkan pemahaman ini, saya berani untuk menjalani pelayanan sosial di panti tersebut.

Panti Asuhan Cacat Ganda (PACG) Bakti Asih merupakan sebuah yayasan sosial yang melayani anak-anak berkebutuhan khusus. PACG ini dikelola oleh Yayasan Sosial Soegijapranoto dengan moto, “Bawalah kasih yang anda terima dari Tuhan kepada anak-anak kami yang butuh kasih sayang.” Ketika kami melaksanakan kegiatan ini terdapat 33 anak yang mengalami cacat ganda atau berkebutuhan khusus, serta 30 karyawan-karyawati (termasuk perawat) yang bekerja di sana. Anak-anak yang tinggal di Panti Asuhan Cacat Ganda memiliki keterbatasan yang beraneka ragam. Hampir semua dari mereka tidak bisa berbicara dan hanya mampu berbaring di tempat tidur atau duduk di kursi roda. Kenyataan ini sungguh menyentuh dan menggerakan saya untuk secara tulus melayani mereka.

Selama kurang lebih satu bulan saya tinggal di tempat ini, saya berusaha untuk terlibat aktif dalam rutinitas para perawat dalam memperhatikan anak-anak. Bersama keempat teman saya, kami masing-masing dibagi kedalam pos-pos kerja yang pada umumnya sudah menjadi rutinitas harian dari para karyawan/i, yaitu membersihkan lingkungan sekitar, menyapu dan mengepel lantai,  mencuci pakaian anak-anak, menyuapi anak-anak dan menggantikan pakaian mereka, serta memasak makanan untuk anak-anak dan para karyawan/i yang bertugas setiap hari. Pekerjaan tersebut kami jalankan secara bergilir setiap hari. Dalam menjalankan tugas, kami berenam lebih memilih untuk mengambil shift pagi sampai siang, yakni dari pukul 06.30 sampai pukul 13.30, karena pada pagi sampai siang hari, rutinitas yang dijalankan sangat padat, dan lebih menguras waktu dan tenaga.

Refleksi: Yesus Adalah Pelayan Orang Cacat (Difabel)

Di dalam kisah Injil, kita seringkali mendengar kisah Yesus melayani orang-orang miskin, sakit dan menderita. Ia memberikan perhatian kepada orang-orang yang dalam Injil disebut dengan beberapa istilah seperti miskin, buta, lumpuh, pincang, kusta, lapar dan bentuk kesengsaraan lainnya (Mrk 7:35; 9:18.25; Luk 13: 2.4.10-17; Yoh 9:2). Kelompok orang yang mendapat perhatian Yesus adalah orang yang menderita sakit dan cacat hingga terpaksa mengemis karena mereka tidak memiliki pekerjaan, dan keluarga yang mampu membiayai hidup mereka. Dalam masyarakat ini, kelompok mereka yang miskin karena kecacatan fisik, tidak memiliki apa-apa, akan ditempatkan pada tangga paling bawah dalam strata sosial. Yang menarik dari Yesus adalah Ia dengan mudah berbaur dengan orang dari kelas paling rendah dan menyamakan diri dengan mereka. Jawaban sangat jelas dikatakan dalam injil bahwa Yesus melakukan semua ini karena belas kasih (Mat 1:41; 4:4; 9:36; Mrk 6:34; Luk 7:13).

Dalam kehidupan sosial, kita banyak kali menemukan orang-orang miskin seperti yang dikisahkan pada masa hidup Yesus. Banyak sekali orang yang mengalami kesusahan hidup karena memang mereka miskin, tetapi ada pula yang mengalami kemiskinan karena dimiskinkan. Dalam konteks yang saya hadapi dalam kegiatan pengabdian sosial kali ini, sekurang-kurangnya saya menemukan salah satu kelompok pada masa hidup Yesus yang hidupnya sungguh sungguh tergantung pada belas kasih orang lain. Puluhan sahabat yang mengalami cacat fisik sejak lahir dalam panti asuhan ini sungguh-sungguh menjadi contoh keadaan manusia paling lemah. Mereka tidak mampu berbuat apa-apa untuk mempertahankan hidup mereka. Keberlangsungan hidup mereka sungguh-sungguh bergantung pada kebaikan hati sesama yang senantiasa memberikan sumbangsi makanan dan pakaian. Mereka bergantung pada kasih para perawat yang dengan penuh kasih merawat mereka seperti anak mereka sendiri.

Ini adalah kenyataan dunia yang sungguh menantang dan menuntut tindakan amal kasih kita. Apa yang bisa mereka lakukan dalam kondisi tubuh seperti itu?`Seperti Yesus, belas kasih kita dituntut di sini. Tidak perlu melakukan tindakan yang hebat seperti yang dilakukan-Nya dengan membebaskan mereka dari sakit tetapi kita hanya perlu meneladan Yesus dengan berdiri bersama mereka dalam situasi kesusahan mereka. Keberimanan kita akan Yesus selalu menuntut kita untuk terus menghidupi dan memperjuangkan apa yang pernah dilakukan dan diperjuangkan oleh Yesus sendiri. Belas kasih adalah kunci tindakan kita untuk ada bersama mereka yang berkekurangan. Sekurang-kurangnya, saya yang memiliki keadaaan fisik yang lebih baik dapat menggantikan fisik mereka yang berkekurangan. Saya bisa menjadi mata bagi mereka yang buta, menjadi telinga bagi mereka yang tuli, menjadi tangan bagi mereka yang tidak memiliki tangan dan bisa menjadi kaki bagi mereka yang lumpuh.

Kebanyakan anak-anak dalam panti ini tidak memiliki keluarga. Mereka sungguh-sungguh diterlantarkan oleh orang-orang terdekatnya. Menghadapi situasi ini, Yesus mengajarkan kepada kita untuk membangun suatu solidaritas yang bersifat universal dan menyeluruh. Solidaritas kelompok yang didasarkan pada ras dan suku perlu kita lampaui agar kita mampu melayani mereka secara total. Dalam hubungan kesalingtergantungan yang total antara orang difabel dan manusia normal, tidak penting kita memandang siapa dia dan siapa saya. Satu hal terpenting yang perlu kita tanamkan dalam hati dan pikiran kita adalah semua manusia adalah sama, secitra dengan Allah. Dalam keadaan fisik kita berbeda tetapi dalam kemanusiaan kita adalah sama, memiliki hak dan status yang sama dihadapan Sang Pencipta. Di dalam mereka saya bisa menemukan Allah, Allah yang tidak memiliki mata dan telinga, tangan dan kaki. Mata, telinga, tangan dan kaki kitalah yang sekarang menjadi alat-Nya untuk melayani sesama.

Hubungan antar pribadi dengan bersolider dengan orang difabel menjadi salah satu bidang pengalaman setiap manusia yang secara implisit, kita dapat menemukan Allah. Ketika kita menghayati secara intens hubungan kita dengan mereka yang tidak mampu berbuat apa-apa, bisa menjadi suatu lambang bagi hubungan kita dengan Allah yang mana bisa membantu kita untuk memperkaya kepribadian kita. Pengalaman perjumpaan dengan mereka dapat membantu kita untuk mengenal pelbagai aspek yang penting dalam membina pengalaman perjumpaan dengan Allah. Cinta dan kasih persaudaraan akan memainkan peranan penting dalam pelayanan orang kecil seperti yang dilakukan Yesus sendiri. Dalam pengalaman ini, saya sering berpikir keadaan orang difabel akan senantiasa membutuhkan suatu cinta tanpa batas dari dari sesamanya. Dari tangan para perawat mereka dapat memperoleh pelayanan dan perawatan yang baik. Dari tangan para donatur, mereka juga mendapatkan perhatian yang diberikan melalui pemenuhan kebutuhan jasmani. Akan tetapi, cinta dan kasih setiap manusia pada titik tertentu akan mencapai titik batasnya. Dengan demikian pengalaman ini kita dapat disadarkan akan Allah yang Mahacinta, yang akan selalu memperhatikan dan melayani manusia tanpa batas. Allah selalu memiliki cara-Nya sendiri untuk menunjukan cinta-Nya kepada mereka dan saya sendiri adalah orang yang hanya sekedar mampir dan mengambil bagian sedikit dalam pelayanan kasih Allah ini kepada mereka.

Tags:

Comments are closed

Latest Comments