Oleh Franciscus Suryana
Selama masa lockdown saya sempat nonton beberapa streaming series. Salah satunya adalah Ted Lasso (yang kebetulan adalah pemenang Primetime Emmy Awards tahun ini).
Dalam cerita ini dikisahkan Ted Lasso sebagai seorang pelatih “American Football” yang direkrut oleh seorang janda, pemilik klub sepakbola profesional di Inggris. Klub ini sendiri sedang mengalami krisis prestasi.
Si janda ini baru saja bercerai (dengan penuh keributan) dengan suaminya yang super kaya dan memperoleh klub sepakbola sebagai harta pembagian atas perceraian (klub ini sebelumnya dimiliki mantan suaminya). Ted ini ceritanya tidak mengerti apa-apa tentang sepakbola. Dia sengaja direkrut karena si janda bermaksud membalas dendam kepada suaminya dengan menjadikan klub ini semakin terpuruk (syukur-syukur bubar). Si janda berharap bahwa si Ted yang notabene tidak punya latar belakang sepak bola akan semakin mengacaukan kondisi klub ini sehingga keinginan dia tercapai. Ted sendiri awalnya tidak tahu maksud busuk si janda. Sebagai pelatih prosesional, yang penting bagi dia adalah berusaha memberikan yang terbaik.
Yang terjadi ternyata sungguh bertolak belakang. Walaupun dengan susah payah termasuk mesti mengalami konflik dengan beberapa pemain dan si janda sendiri, Ted justru sanggup memperbaiki dan bahkan meningkatkan prestasi klub. Melihat apa yang terjadi si janda ini akhirnya mengaku kepada Ted maksud dia waktu merekrut Ted sekaligus minta maaf. Jawaban Ted sederhana saja “I forgive you”.
Kisah ini membuat saya teringat pada perikop Injil Matius 18: 21-23 di mana Petrus bertanya kepada Yesus berapa kali dia harus mengampuni saudaranya jika saudara itu berbuat dosa terhadap dia, apakah sampai tujuh kali. Dan jawab Yesus adalah tujuh puluh kali tujuh kali, yang artinya terus menerus. Kadangkala kitapun susah untuk mengampuni kerabat, orang tua, anak, teman atau rekan kerja yang sudah menyusahkan atau mempersulit hidup kita, yang perilakunya membuat kita pusing dan jungkir balik walaupun mereka telah minta maaf. Kita seringkali masih menyimpan kedongkolan, kejengkelan. Apalagi kalau kita tahu bahwa mereka awalnya punya maksud-maksud tertentu yang melatarbelakangi perilaku mereka. Jadi lebih susah lagi kitanya memberikan pengampunan.
Mungkin dalam situasi seperti ini kita perlu berkaca pada si Ted. Ted baru paham muslihat si janda setelah si janda mengungkapkan alasan dia yang sebenarnya dalam merekrut Ted. Ted mesti pula mengarungi masa-masa sulit dalam melatih klub termasuk menghadapi konflik. Walaupun demikian Ted dengan lapang dada bersedia memaafkan si janda. Bisakah kita juga begitu?