Oleh Fr. Alfons Nahak, SVD
Doa pembukaan
Allah bapa yang mahakuasa Engkau memanggil kami dan mengumpulkan kami untuk berjalan bersama dalam persekutan Gereja Mu yang kudus. Namun seringkali kami mengabaikan kebersamaan tersebut dan menjauhkan diri dari sesama kami. Tidak jarang kami juga mengabaikan kehadiran sesama kami yang membutuhkan perhatian dan jamahan kasih kami. Bukalah hati dan pikiran kami dengan terang sabda Mu agar kami mampu berjalan bersama dan saling mendukung dalam persekutuan Gareja Katolik yang kudus. Demi Kristus Tuhan dan pengantara kami, yang hidup dan berkuasa, bersama dengan Dikau dalam persekutuan dengan Roh Kudus, Allah sepanjang segala masa. Amin
Lukas 10:25-37
Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal? ” Jawab Yesus kepadanya: “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?” Jawab orang itu: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
“Kata Yesus kepadanya: “Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup. “Tetapi untuk membenarkan dirinyau orang itu berkata kepada Yesus: “Dan siapakah sesamaku manusia?” Jawab Yesus: “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.
Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu? Jawab orang itu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”
Siapakah dia? Siapakah mereka? Siapakah Saudara/saudari ku? Siapakah sesama ku manusia? Tak kenal maka tak sayang. Mungkin peribahasa tersebut cukup menggambarkan situasi yang dialami oleh seseorang yang hendak mengenal orang lain, benda atau situasi di sekitarnya. Ketika kita dicemplungkankan dalam situasi, tempat atau dalam kelompok yang baru kita seringkali dituntut untuk membuka diri untuk belajar dan mengenal situasi atau orang lain yang berada di sekitar kita.
Demikian pula dengan kehidupan saudara- saudari kita aborigin (first nation people). Di central Australia mereka seringkali juga disebut Desert Mob/People, karena memang mereka tinggal di gurun pasir (desert). Bagi anda yang sudah tinggal di Australia dalam waktu yang cukup lama tentunya sering mendengar tentang kehidupan orang-orang aborigin1 dan mungkin bersentuhan dengan kehidupan mereka. Masyarakat aborigin adalah salah satu masyarakat yang terluka karena aneka peristiwa yang terjadi di masa lalu. Mereka masih berada dalam keadaan “trauma” oleh perlakuan dan penindasan yang mereka alami di masa lalu. Mereka diperlakukan seperti warga kelas dua. Anak-anak mereka diambil secara paksa dari keluarganya.2 Tanah mereka dirampas. Mereka dianggap tidak layak memiliki hak-hak sebagai seorang warga negara dan bahkan sebagai manusia, dan sebagainya. Inilah sekilas realitas ladang pastoral Gereja Katolik Keuskupan Darwin yang meliputi seluruh wilayah Northern Territory dan di mana para misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) berkarya.
Karya Allah yang menyelamatkan terbuka bagi semua orang tanpa terkecuali. Semua orang, apapun latar belakang dan keadaannya. Semua mahluk berjalan menuju suatu kepenuhan yaitu keselamatan. Hidup bersama dengan sang pencipta selamanya. Pemahaman inilah yang hendak digagas oleh injil Lukas yang sekaligus juga menegaskan ciri khas buku ini yaitu Yesus Kristus adalah juru selamat dunia, bukan juru selamat sekelompok orang saja. Gagasan ini juga pada saat yang sama menyentuh salah satu karakter dasar perjalanan hidup manusia yang “selalu bersama” dengan yang lain. Kita membutuhkan sesama untuk mencapai tujuan utama kehidupan kita sebagai umat beriman yaitu persatuan dengan Allah. Dalam perjalanan tersebut semua orang berkontribusi sesuai dengan talentanya. Setiap orang menjadi “penyumbang” dalam hal ini. Gagasan dalam injil Lukas ini menjadi roh sekaligus penuntun pelayanan Gereja di dunia. Gereja adalah untuk semua.
Pemahaman ini membawa kita untuk melihat hidup Yesus yang menyentuh kehidupan semua kelompok. Yesus membuka diri untuk memahami aneka keterbatasan yang dimiliki oleh semua orang yang ditemui-Nya. Yesus berusaha mengerti keterbatasan mereka. Yesus menemui dan berinteraksi dengar pendengarnya dalam keadaan mereka yang sesungguhnya. Dia tidak membawa mereka keluar dari akar budaya mereka. Yesus masuk dalam kehidupan mereka dan mewartakan kerajaan Allah melalui tradisi dan kebudayaan pendengar-Nya. Sehingga tidak mengherankan Yesus menyampaikan pesan-pesannya melalui perumpamaan atau melalui kebiasaan- kebiasaan dalam kehidupan orang Yahudi.
Pelayanan Gereja di antara masyarakat Aborigin yang memiliki masa lalu yang suram (yang juga melibatkan Gereja di dalamnya) menunjukkan bahwa Gereja tidak pernah meninggalkan mereka dalam menjalani kehidupan yang traumatis ini. Meskipun ada sejarah hitam yang menyakitkan di masa lalu, namun roh rekonsiliasi menguatkan relasi keduanya. Gereja hadir dalam kehidupan mereka dan menjadi bagian dari mereka. Gereja katolik dan masyarakat Aborigin berjalan dan berproses bersama.3 Saling memahami dan mendukung dalam aneka aspek kehidupan terutama dalam kehidupan beriman.
Cukup banyak orang yang berpendapat bahwa pelayanan Gereja di antara masyarakat Aborigin sepertinya sia-sia dan tidak membuahkan hasil apa-apa. Kenapa Gereja memaksakan diri untuk terus-menerus melayani mereka? Kenapa Gereja begitu getolnya ingin melayani mereka? Tinggalkan saja mereka. Biarkan mereka menentukan hidupnya sendiri. Biarkan mereka hidup seperti yang mereka inginkan. Inilah beberapa dari sekian banyak pertanyaan dan pernyataan yang seringkai muncul ketika berbicara tentang pelayanan Gereja di antara masyarakat Aborigin. Namun, Gereja berpegang pada prinsip bahwa Allah menyatukan kita semua dalam satu Gereja di mana kita diundang untuk senantiasa bersatu. Tidak mudah memang merealisasikan cita-cita Gereja dalam pelayanan kepada masyarakat Aborigin. Banyak aspek yang harus dipelajari. Pemahaman budaya dan karakter yang baik dan kuat menjadi tantangan untuk membangun kepercayaan mereka kepada para misionaris yang semuanya adalah non aborigin.
Tantangan-tantangan yang muncul kadangkala menimbulkan banyak pertanyaan dan penilaian yang subjektif. Entah itu membanding-bandingkan budaya mereka dengan budaya lain atau menilai budaya mereka dengan sudut pandang budaya sendiri. Sebagai misionaris asing atau non aborigin yang bekerja di lingkungan yang asing pula kecenderungan ini tidak mudah untuk dihindari. Mungkin hal ini sangat manusiawi mengingat bahwa setiap orang berakar pada budayanya sendiri. Budaya itu melekat dan dibawa kemanapun mereka pergi. Bisa disesuaikan tapi tidak mudah atau bahkan tidak bisa dilepaskan begitu saja.
Tantangan-tantangan yang muncul dalam pelayanan ini harus diakui melelahkan. Oleh karena itu situasi yang demikian menuntut keterbukaan untuk terus belajar dan kreatif. Selain itu kolaborasi dengan semua pihak yang berkepentingan dalam pelayanan menjadi aspek yang sangat penting. Kolaborasi antara para misionaris, keuskupan dan masyarakat aborigin (umat) adalah kunci utama untuk menjalankan pelayanan di central Australia. Tanpa kolaborasi ini pelayanan tidak akan bisa berjalan dengan baik. Inilah yang menjadi kekuatan kehidupan menggereja dan pelayanannya di central Australia. Kita berjalan, bekerja, berdoa bersama, saling mendukung dan menguatkan satu sama lain. Dan jika gagal kita berusaha mencari cara lain yang lebih baik. Kita berjalan bersama sang Sabda sang pemilik misi itu.
Pelayanan Gereja mengundang kita semua untuk menjadi pribadi yang terbuka. Terbuka kepada “kejutan-kejutan” baru yang muncul dalam pelayanan. Kejutan-kejutan ini bisa beraneka ragam bentuknya. Setiap orang bisa memiliki pengalaman yang berbeda pula pada saat berada atau mengalami aneka kejutan itu. Sebab ketika kita terbuka terhadap segala kemungkinan yang mencul dalam pelayanan ini, baik itu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan kita akan selalu memiliki ruang untuk berrefleksi, menerima realitas tanpa menghakimi, belajar dari pengalaman-pengalaman yang ada dan kemudian berusaha menemukan cara baru dalam pelayanan/misi. Hal ini akan membawa kita kepada sikap berbelarasa, sebab kita akan sampai kepada pemahaman bahwa semua orang, tanpa terkecuali layak menerima serta mengalami cinta kasih Allah yang menyelamatkan. Inilah salah satu sikap solider misionaris itu. Solider dalam hal ini adalah sikap yang merangkul semua. Bukan sekedar untuk menyenangkan orang lain semata, namun lebih dari itu untuk membawa semua orang kepada pemahaman menyeluruh dan utuh tentang keselamatan dari Allah.
Kita semua dipanggil menjadi misionaris melalui baptisan yang kita terima. Kita dipanggil untuk membawa dan mewartakan kerajaan Allah kemanapun kita pergi dan di manapun kita berada. Di rumah, di sekolah, di tempat kerja, di gereja, di shopping center, di taman, tempat olah raga dll. Pada saat yang sama kita juga dipanggil untuk terbuka melihat dan memahami realitas di mana kita berada. Dengan keterbukaan ini kita akan dapat melihat dengan jelas realitas di sekitar kita, sehingga dapat mengambil langkah bersama untuk menyelesaikan masalah dan tantangan yang muncul dalam kehidupan kita sehari-hari, baik itu dalam pelayanan di lingkungan Gereja (KKI) atau dalam konteks yang lebih luas kehidupan sosial kita.
Jadi, siapakah sesama ku? Sesamu ku adalah semua orang yang melakukan kehendak Allah. Siapa pun dia tanpa memandang latar belakangnya. Aborigin, non aborigin atau siapapun. Kita semua menerima rahmat yang sama dari Allah. Kita semua berhak menerima perlakuan yang sama dalam kehidupan ini terutama dalam kehidupan menggereja. Pada saat yang sama kita juga dipanggil untuk menjadi pewarta dan misionaris yang siap menghadapi kesulitan dan tantangan dunia yang semakin menjauhkan dan menyempitkan pemahaman kita akan Allah. Kepekaan atau sensitivitas menjadi sangat penting dalam hal ini, agar kita dapat melihat kebutuhan sesama, untuk dapat memilah-milah, menilai serta memahami realitas di sekitar kita.
Masa prakaska adalah saat yang tepat dan elok untuk kembali merenungkan dan melihat aneka realitas yang ada di sekitar kita. Sebab tidak jarang realitas itu menyentuh hidup kita baik secara langsung maupun tidak langsung. Menyentuh relasi kita dengan Tuhan dan sesama. Bahkan menyentuh relasi kita dengan diri kita sendiri. Oleh sebab itu marilah memberi waktu dan ruang kepada Tuhan untuk bekerja di dalam diri kita, sembari berdoa dan berusaha melanjutkan hidup serta mewartakan kasih dan cinta Allah kepada semua orang.
Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis! (Roma 12:15)
Berbela rasa dalam praktik kehidupan sehari-hari dapat diartikan sebagai sikap empatik terhadap orang lain dan sikap mau peduli terhadap orang lain. Berbela rasa tidak selalu menuntut kita untuk bisa memberikan solusi dan jawaban atas persoalan yang orang lain ceritakan kepada kita atau yang mereka hadapi. Berbela rasa kadang hanya menuntut kita menggunakan telinga kita untuk mendengarkan sesama kita. Sesederhana itu!
Beberapa pertanyaan untuk refleksi;
Apa realitas di sekitar saya (dalam diri saya/ keluarga/ lingkungan) yang membutuhkan perhatian saya saat ini?
Apakah realitas tersebut memengaruhi relasi saya dengan Tuhan dan sesama?
Bagaimana realitas itu memengaruhi relasi tersebut?
Apa usaha yang sudah saya lakukan untuk memahami realitas tersebut?
Apakah yang hendak disampaikan Tuhan melalui realitas tersebut dan aneka peristiwa yang saya alami dalam hidup saya?
Doa penutup
Allah bapa yang mahakuasa Engkau telah memberikan kami kesempatan untuk melihat bagaimana kami menyikapi kehidupan kami sebagai umat beriman, untuk selalu berjalan bersama saudara-saudari kami menuju keselamatan. Berilah kami telinga dan hati yang peka dan mau mendengarkan apa yang dialami oleh saudara-i kami. Bantulah kami untuk dapat bekerjasama, saling memahami dan mendukung satu sama lain dalam menghadapi dan menjawab tantangan dalam kehidupan kami setiap hari. Demi Kristus Tuhan dan pengantara kami, yang hidup dan berkuasa, bersama dengan Dikau dalam persekutuan dengan Roh Kudus, Allah sepanjang segala masa. Amin
1 Di central Australia misionaris SVD melayani masyarakat Arrernte (dibaca Aranda)
2 Stolen Generation atau Generasi yang terampas adalah istilah yang biasa digunakan untuk merujuk pada anak-anak Aborigin Australia dan orang Kepulauan Selat Torres yang dipisahkan dari keluarganya oleh pemerintah Australia. Hal ini didasarkan pada kebijakan asimilasi, yang mengklaim bahwa kehidupan orang Aborigin akan lebih baik jika mereka menjadi bagian dari masyarakat kulit putih. (Behrendt 2012).
3Anda adalah bagian dari Australia dan Australia adalah bagian dari Anda. Gereja di Australia tidak akan sepenuhnya menjadi Gereja seperti yang Yesus inginkan sampai Anda memberikan kontribusi Anda untuk hidupnya dan sampai kontribusi itu diterima dengan penuh sukacita oleh orang lain. Yohanes Paulus II Alice Springs – NT, 29 November 1986.
Comments are closed