MENUJU KEPADA TERANG KRISTUS – Minggu II: Dengarkanlah Dia

Sebagai paroki etnik, KKI Melbourne beroperasi di berbagai daerah untuk mencakup kondisi geografis domisili umat yang cukup besar di 'Greater Melbourne area'. Halaman ini digunakan untuk memberikan lokasi dan waktu perayaan Ekaristi berbahasa Indonesia.

Oleh Fr. Yon Wiryono, SVD

Doa Pembuka

Allah yang maha Pengasih dan Penyayang, kami tak henti hentinya bersyukur kepadaMu atas penyelenggaraanMu dalam hidup kami. Kami bersyukur karena Engkau terus menunjukkan Terang-Mu yang menuntun langkah perjalanan hidup kami. Utuslah Roh Kudus-Mu ke atas kami hamba-hambaMu yang berhimpun di sini untuk medengarkan, merenungkan dan berusaha menghayati Sabda-Mu dalam ziarah Puasa kami di Minggu Kedua masa Prapaskah ini. Bukalah mata hati kami untuk bisa melihat anugerah, penyertaan dan kemuliaan-Mu dalam seluruh ziarah hidup kami masing-masing. Biarlah terang SabdaMu terus menuntun langkah hidup kami. Doa dan permohonan ini kami haturkan ke hadiratmu dengan pengantaraan Kristus Tuhan dan Juru selamat kami, Amen.

Injil: (Matius 17:1-9)

Wajah-Nya bercahaya seperti matahari

Sekali peristiwa, Yesus membawa Petrus, Yakobus, dan Yohanes saudaranya, dan bersama-sama mereka la naik ke se-buah gunung yang tinggi. Di situ, mereka sendirian saja. Lalu, Yesus berubah rupa di depan mata mereka: Wajah-Nya bercahaya seperti matahari, dan pakaian-Nya menjadi putih bersinar seperti terang. Maka, tampak kepada mereka, Musa dan Elia sedang berbicara dengan Yesus. Kata Petrus kepada Yesus, “Tuhan, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Jika Engkau mau biarlah kudirikan di sini tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.” Sementara Petrus berkata begitu, tiba-tiba turunlah awan yang terang menaungi mereka, dan dari dalam awan itu terdengarlah suara yang berkata, “Inilah Anak yang Ku-kasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia!” Mendengar itu tersungkurlah murid-murid Yesus dan mereka sangat ketakutan. Lalu, Yesus datang kepada mereka. la menyentuh mereka sambil berkata, “Berdirilah, jangan takut!” Dan ketika mengangkat kepala, mereka tidak melihat seorang pun kecuali Yesus seorang diri. Pada waktu mereka turun dari gunung, Yesus berpesan kepada mereka, “Jangan kamu ceritakan penglihatan itu kepada seorang pun sebelum Anak Manusia dibangkitkan dari antara orang mati.”

Ilustrasi

Pengalaman di Atas Gunung

Pasti kita semua memiliki pengalaman naik dan turun gunung. Biasanya, dari atas puncak gunung kita dapat menikmati panorama/ pemandangan yang sangat mengagumkan. Bagi orang Israel, gunung memiliki arti spiritual yang sangat mendalam. Gunung adalah tempat di mana Tuhan hadir. Dalam cerita Alkitab, Allah mewahyukan dirinya selalu di atas gunung. Di atas puncuk gunung Sinai, Musa menerima Sepuluh Perintah Allah, menjadi simbol perjanjian antara Allah dengan umat Israel. Yesus memilih Keduabelas Rasul di puncak bukit. Demikianpun Transfigurasi terjadi di atas gunung Tabor. Tidak heran kalau gunung / bukit disebut sebanyak lebih dari 500 kali dalam Alkitab.

Cerita pertemuan dengan Tuhan dalam kitab suci selalu terjadi di atas gunung. dalam masa prapaskah ini, sebagaimanayang ditulis oleh Paus Fransikus dalam Pesan Paus untuk masa Puasa 2023, seperti ketiga rasul, kita juga diajak Yesus pergi ke atas ‘gunung’ untuk menemani Yesus serta menyaksikan Kemuliaan dan Keilahian-Nya di atas puncak gunung Tabor. Dalam permenungan ini, kita diajak untuk melihat pengalaman pribadi/personal kita akan kemuliaan Tuhan dalam hidup kita. Itulah yang kita sebut pengalaman akan Allah/pengalaman religius (religious experience); pengalaman mengalami kehadiran Tuhan. Dalam konteks permenungan kita, pengalaman itu bisa disebut sebagai pengalaman di atas puncak gunung. Dan tentu saja kita tidak berhenti pada pengalaman di puncak gunung, tetapi apa yang kita buat setelah turun dari puncak gunung. Apa niat baru kita saat “turun dari gunung” setelah mengalami “pengalaman di atas gunung bersama Tuhan? Semoga melalui masa retret prapaskah ini kita terus bertumbuh dalam kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidup kita setiap hari dan terus bertumbuh dalam relasi yang semakin mendalam dan lebih erat dengan Yesus.

Refleksi Injil

Salah satu peristiwa unik yang sangat mempesona dalam kisah Injil adalah “Transfigurasi Yesus.” Tidak heran kalau peristiwa ini dirayakan secara khusus dalam Gereja katolik sebagai Pesta Yesus Menampakkan KemuliaanNya/ Transfigurasi pada tanggal 6 Agustus sepanjang tahun liturgi. Kisah Injil tentang Transfigurasi juga secara khusus menjadi bahan permenungan umat Katolik pada hari Minggu Prapaskah II setiap tahun liturgi. Dalam konteks kita saat ini, teristimewa pada permenungan Minggu Prapaskah Kedua, pertanyaan mendasar untuk refleksi kita adalah “Bagaimana kita memaknai peristiwa ini dalam terang penghayatan iman kita?”

Tentu sebagaimana yang kita sudah pahami, Transfigurasi secara harafiah berarti perubahan wajah Yesus. Sebagaiman yang dilukiskan penginjil Matius, wajah Yesus berubah rupa; Wajah-Nya bercahaya seperti matahari, dan pakaian-Nya menjadi putih bersinar seperti terang. Bagi Yesus, peristiwa Transfigurasi menujukkan keilahian-Nya dan identitas-Nya sebagai Allah Putera yang menjelma menjadi manusia. Peristiwa ini dimaknai sebagai moment pertemuan antara yang Ilahi dan Manusiawi; bahwa Yesus adalah sekaligus Allah dan Manusia. Selain itu, Transfigurasi juga tidak hanya menekankan tentang identitas Yesus sebagai Anak Allah, (dalam perkataan “Inilah Anak yang Ku-kasihi, sebagaimana juga dalam pembaptisan Yesus di sungai Yordan), tetapi juga penegasan bahwa Yesus adalah perwujudan kuasa Allah, melalui perkataan “Dengarkanlah Dia”.

Apa makna peristiwa Transfigurasi ini bagi ketiga murid Yesus; Petrus, Yakobus dan Yohanes? Perlu kita ingat bahwa Transfigurasi terjadi di dalam perjalanan Yesus menuju Yerusalem tempat Ia menderita dan disalibkan. Dalam konteks ini kita memahami bahwa peristiwa Transfigurasi menguatkan iman para murid. Yesus mengetahui bahwa penderitaan dan wafat-Nya di kayu salib akan sangat menggoncangkan iman para murid. Dengan berbekalkan pengalaman melihat Keilahian Yesus, para murid disiapkan secara mental menghadapi goncangan iman yang sangat besar saat menyaksikan Yesus menderita dan tak berdaya di atas kayu salib.

Bagi ketiga murid Yesus, menyaksikan transfigurasi Yesus adalah pengalaman luar biasa yang sulit dilukiskan dalam kata kata biasa. Just Wow!!! Tidak heran kalau secara spontan Petrus hendak membangun tiga kemah, satu untuk Yesus dan masing-masing untuk Musa dan Elia. Kita mungkin bertanya apa maksud Petrus membangun tiga kemah? Tentu dari perkataan Petrus, “Alangkah bahagianya kami berada di tempat ini”, kita memahami bahwa Petrus ingin melihat dan mengalami lebih lama Kemuliaan Yesus beserta kehadiran Musa dan Elia. Untuk kita, yang paling penting bukan terletak pada kekaguman kita atas kisah yang dialami oleh ketiga rasul, melainkan makna iman yang kita dalami sebagai murid Kristus.

Kehadiran sosok Musa dan Elia dalam peristiwa transfigurasi menjadi penanda bahwa Yesus adalah penggenap dari Hukum taurat dan perkataan para Nabi. Yesus berkata bahwa Aku datang bukan untuk meniadakan hukum taurat tetapi menggenapinya. Yesus di sini hadir sebagai penggenap dan lebih dari itu Yesus adalah perwujudan hukum yang sempurna; Yesus adalah Jalan, Kebenaran dan Kehidupan. Oleh karena itu, sebagaimana suara yang berseru “Dengarkanlah Dia”, kita sekali lagi diingatkan untuk mendengarkan Sabda Tuhan. Yesus dalam Lukas 8:18 menyebutkan; “Perhatikanlah cara kamu mendengar…..”, Bagaimana cara kita mendengar?

Mendengar dan mendengarkan memiliki arti yang berbeda sebagaimana dalam bahasa Inggris to hear dan to listen memiliki arti yang berbeda. Mendengar (to hear) memiliki arti sekadar menerima pesan yang masuk melalui Indra pendengar/telinga. Sementara mendengarkan (to listen) memiliki arti menerima pesan dengan seluruh Panca Indra kita termasuk gesture atau bahasa tubuh kita. Mendengarkan menuntut seluruh perhatian dan panca indera kita. Oleh karena itu, mendengarkan tidak hanya terbatas pada apa yang bisa didengar atau dibaca, tetapi juga mencakup mendengarkan suara Tuhan yang menyapa melalui alam dan seluruh ciptaan Tuhan. Saya ambil contoh, selain familiar dengan “meditasi Kitab Suci”, kita juga sering mendengar apa yang dinamakan “meditasi alam” untuk mendengarkan suara Tuhan melalui alam yang berbicara kepada kita. Demikian juga ketika kita berhadapan dengan realitas ketidakadilan atau realitas kemiskinan misalnya, kita juga bisa mendengarkan suara Tuhan yang memanggil kita untuk bertindak atau bersolider dengan orang-orang yang menderita.

Dalam hal mendengarkan, ada pepatah kuno yang mengatakan, “Dengarkanlah suara Tuhan dalam ketenangan, sebab dalam kebisingan/keributan suara-Nya tidak jelas terdengar.” Pepatah ini mengingatkan kita akan pentingnya ketenangan dalam hidup kita. Yang menjadi tantangan tersendiri bagi kita umat Kristiani adalah bagaimana kita menyiapkan waktu khusus untuk mendengarkan Tuhan dalam ketenangan. Apakah kita memiliki kebiasaan untuk membaca Kitab Suci (Lectio Divina) dan merenungkannya secara lebih mendalam? Seruan “Dengarkanlah Dia” pada Minggu Prapaskah kedua memanggil kita untuk bertobat dari “ketidakhirauan” kita terhadap Sabda Tuhan untuk lebih akrab mendengarkan Sabda Tuhan melalui komitment kita untuk membaca dan merenungkan (meditasi) Kitab Suci.

Dengan mendengarkan Sabda Tuhan secara lebih tekun dan mengamalkan-nya secara lebih sungguh, kita terus dibentuk dan dibentuk terus (reshape) untuk semakin menyerupai Kristus. Proses ini bisa dilihat sebagai proses “transendensi diri”. Transendensi diri adalah proses yang membawa kita keluar dari diri kita untuk semakin mendekati citra diri kita yang sejati di hadapan Allah. Transedensi diri berarti berada, berproses dan berusaha untuk melampaui jati diri kemanusiawian kita untuk mencapai perwujudan wajah kasih Allah, yang sebetulnya sudah terpatri dalam citra kita sejak kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.

Dalam konteks permenungan kita tentang peristiwa transfigurasi, transendesi diri dapat dilihat sebagai Transfigurasi/ berubah untuk menjadi umat kristiani yang lebih otentik/ sejati. Dalam proses itu, Teolog Bernard Lonergan menawarkan sebuah metode transedensi diri yang unik. Menurut Lonergan, manusia dapat mencapai keotentikan dirinya melalui metode transedensi diri yang meliputi beberapa proses penting: be attentive (perhatikanlah), be intelligent (bercerdaslah), be reasonable (bersikap nalarlah), be responsible (bertanggung jawablah), dan be in love (men-cintalah).

Dalam konteks mendengarkan Sabda Tuhan, interpretasi saya terhadap metode Lonergan tersebut dapat dipahami seperti ini: “Mendengarkan Sabda Tuhan dengan penuh perhatian (be attentive), dan secara cerdas memahami dengan benar dan utuh apa maksud Yesus melalui kata-kata yang diungkapkan-Nya, jangan sampai kita salah kaprah (be intelligent), bagaimana kita memahami Sabda Tuhan dan bagaimana sabda Tuhan itu make sense atau diterima dalam konteks kehidupan untuk diterapkan dalam hidup (be reasonable), bagaimana kita bertanggung jawab untuk menghidupi Sabda Tuhan yang kita dengar (be responsible) dan jatuh cinta dan mencintai Sabda yang Tuhan yang kita dengarkan itu (be in love). Melalui cara ini, kita bisa bergerak melampaui diri kita menuju jati diri kita yang otentik sebagai murid Kristus yang sejati. Keotentikan itulah yang membentuk kita untuk menjadi terang Kristus bagi dunia.

Selain itu, menuju kepada terang Kristus, kita perlu untuk belajar dan membiasakan diri kita mendengarkan dengan penuh perhatian. Untuk bisa mendengarkan, kita perlu membuka hati kita. Surat Apostolik Paus Fransiskus Evangelii Gaudium, 171 menyebutkan “keterbukaan hati memungkinkan kedekatan.” Keterbukaan hati kita untuk mendengarkan Sabda Tuhan memungkinkan kedekatan kita dengan Tuhan. Apakah hati kita terbuka saat mendengarkan Sabda Tuhan? Sekian sering, hati kita menjadi seperti batu yang sulit ditembus oleh Sabda Tuhan; bukannya meresap ke dalam, tetapi dipantulkan kembali keluar. Menyadari kecenderungan ‘kebatuan’ hati kita, seruan “Dengarkanlah Dia” menuntut kita untuk membuka hati dan membiarkan Sabda Tuhan meresap ke kedalaman relung hati kita. Menuju kepada terang Kristus berarti membuka hati untuk siap diisi dan dibentuk oleh Tuhan.

Pada akhirnya, mendengarkan adalah dasar dari komunikasi dan relasi cinta kita dengan Allah. Paus Fransiskus mengungkapkan bahwa mendengarkan adalah salah satu dimensi dari cinta. Cinta kepada Allah dibangun melalui komunikasi kita dengan Allah. Dan tentu saja komunikasi dengan Allah pertama tama harus dibangun dengan mendengarkan Allah. Dengan demikian, mendengarkan Allah adalah hal yang sangat mendasar dalam relasi kita dengan Tuhan. Yesus dalam Lukas 8:18 menyebutkan; “Perhatikanlah cara kamu mendengar, karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi…..” Semoga melalui permenungan ini kita semakin mendalami apa yang mesti kita punyai agar Allah terus memberikan terang bagi jalan kita di dunia ini, yakni mempunyai hati yang terbuka agar siap diberikan rahmat Tuhan untuk terus dibentuk menjadi semakin menyerupai Kristus.

Pertanyaan Refleksi Pribadi

  1. Bagaiamana pengalaman pribadi saya menyaksikan Kemuliaan Tuhan dalam hidup? Apa niat baru saya saat “turun dari gunung” setelah mengalami pengalaman di atas gunung bersama Tuhan?
  2. Bagaimana cara saya mendengarkan Sabda Tuhan? Langkah konkret mana yang harus saya buat secara sadar dan terarah untuk menanggapi seruan Allah “dengarkanlah Dia”?
  3. Bagaimana saya terus mentransdensikan diri saya, berproses melampaui kondisi kemanusiawian saya untuk menjadi seperti citra Allah yang terpatri dalam diri saya?

Doa Penutup

Allah Tritunggal Maha Kudus, semoga kami membuka pintu hati kami untuk setia mendengarkan sabda-Mu. Gerakkanlah hati kami untuk mengambil waktu khusus setiap hari mendengarkan dan merenungkan Sabda-Mu. Bantulah kami semua dalam memenuhi perintah-Mu untuk mendengarkan Dia yang Engkau utus untuk membawa terang bagi hidup kami. Semoga melalui permenungan ini, kami dapat memulai dan membaharui komitment kami untuk selalu setia mendengarkan Engkau, sebab Engkahulah Jalan, Kebenaran dan Hidup kami, Amen.

Tags:

Comments are closed

Latest Comments