P E L A Y A N A N

Sebagai paroki etnik, KKI Melbourne beroperasi di berbagai daerah untuk mencakup kondisi geografis domisili umat yang cukup besar di 'Greater Melbourne area'. Halaman ini digunakan untuk memberikan lokasi dan waktu perayaan Ekaristi berbahasa Indonesia.

Oleh Ben Sugija

Seper pada tahun-tahun lalu menjelang Paskah, dengan teman-teman dekat berdiskusi dan saya melakukan rekoleksi tentang islah pelayanan. Kata dasarnya adalah layan dan ada dua kelompok yang terlibat dan berbeda ngkatannya. Akhir-akhir ini, kata pelayanan kepada Tuhan sangat sering digunakan oleh orang-orang yang katanya terlibat dalam kegiatan spiritual. Ha saya tergelik untuk meneli apa ar melayani yang sebenarnya, dilihat dari sudut harafiah. Dengan mudah orang mengklaim kalau bernyanyi yang merdu di gereja, bilangnya sudah memberikan perlayanan. Begitupun dengan pertunjukan, apalagi yang di bumbui dengan hal yang super-natural juga dibilang, memberikan pelayanan. Belum kalau kita melihat sikap orang-orang tentang perpuluhan, sang pencipta kita sudah dianggap sebagai mesin ATM di bank, tetapi fenomena ini tetap saja disebut pelayanan juga. Bayangkan kekacauan ekonomi yang akan terjadi, kalau para ‘pelaku’ ekonomi ini mampu melipat gandakan kekayaannya.

Untuk itu, saya mengacu ke kamus yg ditulis oleh Echols JM dengan Shadily H, kata dasar layan berar memberikan bantuan atau melakukan tugas yang diberikan oleh orang atau kelompok yang lebih nggi ngkatannya. Ada dua pihak yang terlibat; yang pertama Tuhan, sang pencipta yang Ilahi atau majikan, dan manusia sebagai ciptaanNya, seorang hamba. Injilpun menegaskan bahwa seorang hamba atau pelayan dak lebih nggi dari tuannya. Begitupun seorang utusan dak bisa mengajukakan syarat-syarat, cara dan waktu, kepada gurunya. Dia hanya melaksanakan tugas atau pengutusan. Keadaan menjadi membingungkan kalau ada yang mengatakan ingin ke gereja menghadiri misa, tapi syarat-syaratnya cukup banyak. Antara lain, lagu-lagunya mes menarik, pakai sound system yang mutakhir dan imamnya jangan si dia-lah, karena khotbahnya monoton, dak ada humornya, membosankan. Umat mempunyai hak untuk mengatur liturgi dan isi misa. Pokoknya, dikemas secara modern.

Untuk bisa lebih merasakan ar pelayanan, saya mencoba menggunakan sebuah parable tentang seorang bapak yang kaya dan sukses. Namanya si Polan, mempunyai dua putra. Kedua anak ini ingin membangun hubungan yang indah dan akrab (inmate) dengan bapaknya, tapi caranya sangat berbeda. Memang betul kedua-duanya meng-klaim bahwa mereka melayani bapaknya. Sekali lagi, arkel ini bukanlah untuk menghakimi siapa yang benar atau salah, tetapi sesuai dengan tradisi masa pra-Paskan, mari kita ber-refleksi, memeriksa dimana kita berdiri dihadapan Tuhan.

Anak yang sulung senang tampil dimimbar atau dimuka umum, pandai bernyanyi, berbisnis. Dia mempromosikan bapaknya sehingga pa Polan tambah terkenal, dikagumi orang baik lewat konser atau pertunjukan anak sulungnya. Dari sisi komersial pun, juga banyak keuntungan yang bisa diraup lalu diserahkan kepada ayahnya.

Anak yang bungsu lebih introvert dan memang dak berbakat bisinis. Paling-paling kalau bapaknya sedang mencuci mobilnya atau memotong rumput, dia hanya menawarkan dan memberikan bantuannya. Dia juga jarang dan dak antusias terlihat atau tampil bersama bapaknya. Yang diinginkannya, hanyalah kedekatan dirinya kepada bapaknya. Dari kayalan kedua anak diatas, sangat mungkin ada yang bertanya, apakah betul Tuhan senang disanjung-sanjung, dipuji-puji? Jawabannyapun sulit karena hanya Tuhan dan orang yang bersangkutan, yang bisa mengukur atau menilai, ketulusan pelayanan yang diberikan.

Dalam hidup beriman, orang sering melirik kepada agama-agama yang lain, misalnya agama Buddha atau Hindu. Mereka bertanya, apa sih bedanya Katolik atau Kristen dengan mereka. Banyak yang dak menyadari bahwa, agama Buddha atau Hindu adalah sebuah agama pencerahan (religion of enlightment). Umatnya berusaha mengalami pencerahan ke ngkat yang lebih nggi, misalnya melalui meditasi. Agama Kristen dipihak lain, adalah agama perjumpaan (religion of encounter). Kita berjumpa dengan Jesus dan Dia menyapa kita walaupun secara dak langsung. Dia mengundang kita kita mewakiliNya menghadapi sesama kita yang sedang lapar dan haus, telanjang, marginal, kesepian dan lain-lain. Disinilah iman kita teruji, kalau bertanya kepada Jesus, kapan dan dimana kita berjumpa dengan atau disapa oleh Jesus. Kita percaya, Jesuslah yang mengatur ‘semua perjumpamaan ini’. He is the one who run the show. Jadi, agama Kristen bukanlah sebuah agama yang UUD, Ujung-Ujungnya Diri sendiri. Harap diketahui, agama lain dari Kristen-pun memiliki keprihanan terhadap kelompok marginal.

Paskah, bukanlah sebuah perhelatan untuk bertemu rekan-rekan lainnya, mengucapkan selamat atau mencari telur Paskah. Kebesaran Paskah adalah karena Paskah merupakan sebuah momentum pengakuan, siapakah Tuhan itu bagi kita dan Dia sangat menyayangi kita. Pernyataan yang singkat ini akan menjadi bingkai atau rangka bagaimana kita merespon panggilan Tuhan termasuk memberikan pelayanan kepadaNya. Kita bisa saja mulai dengan berserah diri total kepada Jesus, menyadari bahwa Jesus tetap berkarya bersama-sama kita, dan tentu saja beserta dengan Roh Kudus. Jangan kuar dengan pelayanannya, karena Jesus sudah berkata. ‘ … masa panen sudah dekat; tapi pekerjanya sedikit sekali …’

Sebagai penutup, izinkanlah saya mengajukan beberapa pertanyaan sebagai pelengkap atau alat untuk melakukan refleksi, rekoleksi. Sekali lagi, pertanyaan ini bukanlah untuk menghakimi orang lain, membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar. Kita hanya berefleksi diri sendiri dan kalau dak nyaman, dak perlu menjawabnya, lupakan saja.

1. Dimanakah anda berdiri dihadapan Tuhan. Apakah anda bersikap sebagai hamba yang menghadap tuannya, atau ingin menjadi seorang tuan juga. Seper seorang sutradara yang memegang kendali jalan cerita dalam pembuatan sebuah film, apakah anda ingin menjadi sutradara yang kedua?

2. Pernahkah anda coba menemui Jesus diwajah orang-orang yang mengalami kesulitan. Atau apakah kita cukup hanya berdoa saja untuk mereka? Alangkah eloknya kalau kita bisa mencontoh “pelayan agung kita” Jesus, ataupun orang-orang seper mother Theresa, Nelson Mandela, Gandhi dan lainnya. Mereka juga pembela orang yang menderita. Mereka memberikan pelayanan tanpa melihat atau memilih latar belakang korban, baik komunitasnya maupun agamanya, inklusif.

3. Ekspresi pelayanan memang tergantung dari orang yang bersangkutan, pendidikan, latar belakang sosial budaya-nya. Tiap orang mempunyai persepsi yang berbeda tentang Tuhan. Ada orang yang membutuhkan suasana yang khusuk waktu berdoa dan ada orang yang bisa berbicara bahasa lidah. Biarkan saja perbedaan itu terjadi, yang penng, semua orang tetap saling menghorma satu sama lain. Begitupun yang dengan kesaksian, mukjisat dan tandatanda heran, saya serahkan saja kepada yang diatas. Tuhan lebih tahu apakah saya memerlukannya atau dak. Bagi saya, mau terjadi boleh, dakpun boleh.

4. Semoga refleksi ini bisa membantu kita menemukan bentuk pelayanan kepada Tuhan dan sesama kita.

Salam hangat,

Ben

Tags:

Comments are closed

Latest Comments