Oleh Franciscus Suryana
Semasa libur Paskah bulan lalu saya sempat baca kisah pelatih-pelatih yang berhasil membawa tim negaranya menjadi juara dunia sepak bola putra (catatan: kebetulan saya suka ngikutin sepak bola level negara). Salah satu pelatih ini adalah Marcello Lippi yang berhasil bawa Italia memenangkan Piala Dunia 2006. Lippi bilang kunci kemenangan tim Italia salah satunya terletak pada “passion” dari para pemain.
Mirip juga dengan komentar dari pelatih tenisnya Li Na (satu dari dua pemain tenis dari negara Asia yang berhasil menjuarai turnamen Grandslam Tennis tunggal putri). Sang pelatih bilang kunci keberhasilan Li Na adalah “passion” artinya bertanding dengan sepenuh hati. Ini karena menurut dia tingkat kemampuan teknis pemain-pemain putri yang sudah berhasil masuk turnamen Grandslam adalah relatif sama.
Passion. Inilah rupanya yang merasuk ke dalam hati para Rasul sehabis mereka menerima Roh Kudus dalam hari raya Pantekosta. Passion untuk mewartakan kabar gembira ke seluruh pelosok dunia. Kalau dikaitkan dengan kehidupan kita sehari-hari, passion bisa diterjemahkan sebagai niat dan komitmen untuk bertindak atau melakukan sesuatu.
Seperti Kristus yang bangkit di hari Paskah, mestinya kita juga bangkit dalam arti memperbaharui/memperbaiki hidup kita. Untuk memperbaharui hidup perlulah niat yang dibarengi dengan komitmen. Dengan kata lain ya kita mesti punya passion untuk memulai pembaharuan hidup. Pertanyaannya: sudahkah kita punya passion seperti para pemain tim Italia di Piala Dunia 2006 atau Li Na atau bahkan seperti para Rasul?