RENDAH HATI

Sebagai paroki etnik, KKI Melbourne beroperasi di berbagai daerah untuk mencakup kondisi geografis domisili umat yang cukup besar di 'Greater Melbourne area'. Halaman ini digunakan untuk memberikan lokasi dan waktu perayaan Ekaristi berbahasa Indonesia.

Oleh Petter Sandjaya

Ulang tahun KKI Melbourne memang sudah berlalu beberapa minggu yang lalu. Namun kenangannya tak dapat terlupakan bagi saya. Sebuah kenangan akan kerendahan-hati. Sebuah pembelajaran akan betapa bodohnya diri ini bila bangga akan apa yang saya miliki, atau akan apa yang sudah saya capai.

Tulisan ini adalah sebuah curahan hati saya pribadi, atau umumnya orang biasanya bilang CURHAT. Jadi, kalau anda tipikal orang yang ga suka dengar atau baca curhatan orang, belum terlambat untuk kabur dan kembali ke sosial media anda, hehehe…

Ok, mari kita mulai curhatnya.

Inti dari curhatan saya dalam tulisan kali ini adalah, tentang kerendahan-hati. Pengalaman-pengalaman dan pembelajaran yang saya dapat selama momen ulang tahun KKI Melbourne yang ke-35 beberapa minggu yang lalu.

Dimulai dari kelompok orkestra yang terdiri dari beberapa remaja yang sebagian besar adalah anggota KKI High Melbourne, sebuah kelompok Bina Iman Remaja dalam asuhan KKI Melbourne. Saya cukup kaget bercampur bangga karena ada anak non-KKI dalam orkestra tersebut. Saya bangga dan terharu bahwa KKI Melbourne dapat menjadi wadah bagi orang-orang yang mencari dan membutuhkannya. Sementara di sisi lain, ketika KKI Melbourne bersusah payah mencari pengajar Sekolah Minggu, ada saja umat yang justru malah menyalahkan dan mengancam: “kalau begini terus, banyak anak-anak katolik yang pindah sekolah minggu Kristen nih”

Memang menjadi wadah itu tidak mudah, apalagi ketika wadah yang harus ditampung itu semakin besar, berat, dan banyak. Sungguh, dibutuhkan kerendahan-hati untuk dapat memahami bahwa wadah itu sendiri isinya adalah orang-orang yang sama seperti umat lainnya. Mereka pun mencari dan membutuhkan wadah itu, baik bagi dirinya sendiri maupun anggota keluarganya. Baik untuk pengembangan diri maupun kewarasan rohani.

Jadi teringat lagi kisah kerendahan-hati seorang Nasruddin dalam 360 kisah jenaka yang disampaikan chaplain kita di Misa Syukur ulang tahun KKI Melbourne 18 September yang lalu. Timurlang (Tamerlane) yang adalah seorang raja mengajukan pertanyaan: “Adil atau lalim kah aku?” Nasruddin tidak memilih kedua pilihan itu. Ia justru menjawab bahwa dirinya dan penduduk lah yang lalim, sementara paduka Tamerlane adalah pedang keadilan yang diberikan kepada kami.”

Memang semua ini tentang diri kita, semua ini berawal dari diri kita. Bila kita mau merendahkan hati, maka damai dan tenanglah dunia ini. Begitupula KKI Melbourne yang saya lihat dan terlibat, saya belajar banyak dari orang-orang yang rendah-hati di sini. Mereka mau melepaskan ornamen atau jabatan yang menempel pada diri mereka, dan melayani Tuhan bersama-sama, tanpa pandang bulu. Sebagai contoh saja, banyak yang turun menghadapi hujan demi bongkar-pasang tenda untuk kelangsungan acara ultah waktu itu. Seperti yang kita tahu, pada hari H, hujan cukup awet mengguyur St. Paschal, Box Hill selama acara berlangsung.

Jadi teringat dengan tulisan Saudara Thomas Rizal 3 minggu yang lalu, masih perihal kerendahan-hati dalam melayani. Memang, dalam melayani jika mengharapkan pujian dan apresiasi, besar kemungkinan hanya kekecewaan yang akan didapat. Ada istilah “expect less, do more”, namun istilah ini sulit dipahami bagi mereka yang masih mencari apresiasi. Jadi teringat dulu, salah satu rekan sepelayanan kecewa karena idenya dipakai dan diakui oleh pihak lain. Sementara dirinya dilupakan.

Melayani memang harus berasal dari kelimpahan kasih di dalam hati yang berlimpah ruah, sehingga kita yang mencari tempat untuk wadah agar kasih yang berlimpah-limpah ini, tertampung dan dapat berbuah dengan baik. Karena pohon yang baik akan berbuah yang baik. Karenanya jika diri ini sudah merasakan kelimpahan kasih, kelimpahan berkat, dan mensyukuri hidup ini melebihi segalanya, kamulah orang yang tepat. Kamulah pohon yang baik itu. Kamulah yang akan menciptakan wadah itu, dan berbuah di situ. Karena pohon yang baik akan terus mengakar ke dalam, mencari sumber air demi hasil buah yang maksimal. Dan, “pohon” yang mencari pasti mendapat, dan “pohon” yang mengetuk pintu pasti dibukakan.

Lalu bagaimana dong kalau sudah melayani dari kelimpahan kasih ini, masih tidak mendapatkan apresiasi? Inilah sebenarnya yang dapat dijadikan indikator bagi kita masing-masing. Karena normalnya adalah sudah bersyukur ketika mendapatkan kesempatan dan tempat untuk mencurahkan kasih. Sehingga diapresiasi atau tidak, itu bukan urusan kita. Itu Cuma bonus. Diapresiasi ya syukur. Tidak diapresiasi pun sudah senang.

Akhir kata untuk mengakhiri curhatan saya ini, saya ingin mengutip kalimat terakhir dari Injil 2 Oktober yang lalu dan kotbah Chaplain kita pada waktu itu, tentang biji sesawi yang kecil dan kaitannya dengan seorang hamba yang melayani tuannya dari kitab Lukas:

Lakukanlah apa yang harus dilakukan, dan berpikirlah sederhana seperti seorang hamba.”

Tags:

Comments are closed

Latest Comments